PETI Kian Marak, Di Mana Letak Salahnya?


peti

Peti, dari sekian banyak ragam dan fungsinya, ada pula yang sengaja disediakan untuk (menjemput, atau tempat pembaringan) orang yang sudah mati. Nama yang sama dengan makna berbeda: PETI, hampir pula "berfungsi" sebagai penyebabnya: mati.

Yang disebutkan terakhir memang sedang marak saat ini: penambangan emas tanpa izin (PETI).

Sebagai aktivitas ilegal, PETI tak jarang mendatangkan kematian. Minimum, menjadi sebab bagi kerusakan alam yang meluas, yang ujungnya bisa saja kesengsaraan, hingga kematian juga. 

Meski dihiasi dengan mimpi gelimang rupiah yang melenakan bagi pelakunya (pemodal, penambang), PETI seakan menjadi aktivitas yang mengakibatkan orang datang menjemput mati.

Para pelaku bisa terus terbuai dengan kesenangan sesaat yang diimpikan, sebagai hasil dari mengeruk sumber daya alam tersebut. Mereka bahkan tak ragu (dan merasa tidak berdosa) kesampingkan akibat buruk dari aktivitas yang dilakukannya. Terhadap alam. Terhadap hewan. Terhadap manusia. Terhadap lingkungan dan sesamanya.

Aktivitas PETI atau penambangan emas tanpa izin marak terjadi di hampir semua kabupaten di (wilayah barat) Provinsi Jambi, beberapa tahun terakhir. Bahkan aktivitas ini sudah tergolong ‘gila-gilaan’ dilakukan. 

Kegiatan penambangan emas tanpa izin tersebut sudah sangat mencemari sungai. Aktivitas ilegal ini juga merusak badan dan sempadan sungai serta jalur aliran air.

Habis itu apa lagi? PETI juga merangsek ke wilayah hutan hingga masuk ke kawasan yang sebelumnya dijaga dan dilindungi.

Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, Rudi Syaf mengatakan, pengerukan oleh aktivitas tambang ilegal sudah masuk ke dalam kawasan lindung, yaitu kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di wilayah Merangin dan Hutan Lindung Bukit Limau di Sarolangun. Secara langsung PETI turut menyumbang laju deforestasi. 

Publikasi catatan akhir tahun 2017 KKI WARSI, di Kantor pusatnya di kawasan Pematang Sulur Kota Jambi, beberapa waktu lalu, menyebut luasan hutan di Provinsi Jambi sudah masuk kategori Darurat. “Laju deforestasi makin tak terbendung”.

Dari analisis Citra Satelit yang dilakukan Tim GIS KKI WARSI, tutupan hutan di Provinsi Jambi pada 2017 tinggal 930 ribu hektar, atau hanya 18 persen dari luas  daratan Jambi. Berkurangnya luas tutupan hutan disebutkan salah satunya karena maraknya aktivitas tambang ilegal (PETI).

“Kehilangan hutan dipicu sejumlah aktivitas manusia, di antaranya alih fungsi hutan, tambang illegal dan perambahan liar,” kata Rudi Syaf, Direktur KKI WARSI.

Dalam catatan WARSI, PETI paling banyak terjadi di Kabupaten Merangin, Sarolangun dan Bungo. 

Interprestasi Citra Lansat 8 tahun 2017, seluas 27.822 hektar lahan alami kerusakan akibat penambangan emas ilegal. Dari jumlah itu, di Sarolangun adalah yang paling luas, yaitu 13.762 hektar. Disusul kemudian Merangin seluas 9.966 hektar dan Bungo 4.094 hektar.

Jika dibandingkan dengan analisis tahun 2016, areal yang dibuka untuk PETI meningkat lebih dari 100 persen di wilayah  Merangin dan Sarolangun. Areal yang dieksploitasi PETI ini diperkirakan separuhnya merupakan kawasan persawahan yang sebelumnya menjadi sumber pangan masyarakat setempat.

Merusak dan Memakan Banyak Korban
Aktivitas PETI yang dilakukan di sepanjang sungai, menyulap sungai menjadi sangat kritis. Bencana ekologis dan konflik, muncul tak terhindarkan. Ditambah pula terus terjadinya alih fungsi lahan dan hutan serta pembalakan liar. Akibatnya, banjir dan longsor makin sering datang dan menjadi ancaman bagi lingkungan, hewan dan manusia.

Di beberapa wilayah, PETI menjadi penyebab ratusan hektar sawah tak bisa ditanami, lebih seratus lubuk larangan terancam. 

Selain banjir dan longsor, hujan deras disertai angin kencang dan petir juga semakin sering terjadi. 

Baca juga: Mengarungi Liuk Batanghari 

Menurut catatan KKI WARSI, ribuan warga menjadi korban dari bencana ekologis yang terjadi di Provinsi Jambi. Mereka terpaksa mengungsi dan bahkan beberapa orang meregang nyawa. Ribuan rumah terendam, ribuan hektar sawah serta fasilitas umum seperti sekolah, pusat peribadatan dan pusat kesehatan juga terkena dampaknya.

Aktivitas PETI juga sudah sangat meresahkan bagi masyarakat di sepanjang aliran sungai. Dalam catatan akhir tahun 2017 KKI WARSI, sungai-sungai yang melewati pemukiman warga di Provinsi Jambi, airnya masih merupakan sumber utama pemenuh kebutuhan masyarakat. Banyak warga memanfaatkan air sungai untuk berbagai keperluan.

PETI yang menggunakan merkuri untuk pemisah biji emas disinyalir telah mencemari air sungai yang biasa digunakan masyarakat sehari-hari. 

Selain merusak lingkungan, aktivitas PETI juga sudah banyak memakan korban jiwa. Dari 2012 hingga akhir 2017, ada sekitar 62 korban jiwa (meninggal) akibat PETI. 

Tragedi meninggal pelaku PETI hampir selalu dalam keadaan mengenaskan. Peristiwa longsornya lubang jarum PETI yang memakan banyak korban akibat tertimbun material, di Merangin, sebagi contoh. Ada banyak lagi kejadian lainnya yang merenggut nyawa pelaku PETI maupun korban dari masyarakat terdampak aktivitas ilegal tersebut.

Namun data menunjukkan, meski korban makin banyak berjatuhan, aktivitas ilegal ini terus dilakukan dalam skala yang semakin meluas. Ini bisa disebut sebuah anomali. 

Timbul pertanyaan: aktivitas ilegal ini terjadi karena hukum tidak ditegakkan secara tegas dan adil, ataukah memang masyarakat sudah tak punya pilihan mata pencaharian lain yang menjanjikan untuk melangsungkan kehidupannya? 

Pertanyaan semacam ini bisa sangat berguna saat membuat daftar identifikasi masalah dalam rapat-rapat penting pemerintah.

Tidak ada komentar

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.