Candi Muarojambi
Catatan Perjalanan
Kuno
melayu
Sejarah
Menjelajah di antara petak sejarah
Menyambangi dan mempelajari situs-situs sejarah (masa lalu) memang
selalu menarik. Ia menjadi semacam
jendela. Jalan masuk ke kehidupan lain, pada masa-masa sebelum sekarang. Masa di mana titah raja masih dianggap sabda.
Masa silam, saat alam dan penghuninya masih bersaudara dekat, barangkali.
Atau—mungkin juga seperti cerita orang tua—pada masa tersebut
raja-raja agung mendirikan bentengnya di daratan. Dan para lanun menjinakkan
ombak di lautan.
Namun, masa itu pula, saat ini terasa masih kelam. Kabur,
dan sulit terlihat, sebagaimana ia juga tidak mungkin dilupakan begitu saja.
Masa lalu Melayu (khususnya Melayu Jambi) masih teronggok di
tepian peradaban. Ia seperti tekunci dalam kotak Pandora, atau tengah terkubur
di Svarnadvipa—di bumi tempat
peradaban itu pernah berjaya.
Bermaksud menguak (sedikit demi sedikit) masa lalu itulah,
kami berlima (Jonathan Zilberg, M.H. Abid, Joko, M. Husni dan saya sendiri)
mendatangi Situs Percandian Muaro Jambi (SPMJ), yang terletak di Kecamatan
Muaro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi, pada akhirJuni lalu.
Pagi-pagi sekali, kami menjejaki satu demi satu—maksud saya
tidak semua. Hanya beberapa saja—bangunan Candi yang sebagian besar masih belum
diekskavasi. Hanya berjalan kaki, kami mengunjungi situs-situs kuno tersebut.
Perjalanan yang sangat mengasyikkan. Melewati lahan
pertanian warga setempat, menerobos kebun kakao, menyusuri kanal kuno, dan meniti
jembatan yang memotong kanal, adalah beberapa jalur perlintasan yang kami
telusuri.
Kami memulai perjalanan dari Desa Muaro Jambi. Sebuah desa
yang letaknya persis masuk dalam Kawasan Percandian Muaro Jambi.
Di desa ini, tempat persinggahan sementara (bagi kami) waktu
itu adalah rumah pemuda setempat. Husni namanya—seperti telah disebutkan di
awal. Seorang sahabat, yang sekaligus menjadi guide selama perjalanan.
Dari kediaman Husni, kami menyusur setapak menuju belakang kampung.
Di kiri-kanan jalan, berderet rumah-rumah panggung Melayu Jambi.
Sepanjang perjalanan kami berjumpa dan bertegur sapa dengan penduduk setempat.
Orang-orang dengan keramahan khas desa melayu.
Setelah melewati rumah terakhir, jalur setapak yang kami
lewati, berganti jalan tanah. Jalan ini berbelok ke arah kanan, menuju kanal
kuno. Konon, kanal tersebut juga dibangun bersamaan dengan pembangunan
candi-candi yang ada di kawasan itu. Kami selanjutnya meniti Jembatan yang
memotong kanal kuno tersebut. Jembatan ini terbuat dari balok (kayu gelondongan).
Tekstur kayunya terlihat sudah mulai
melapuk. Mungkin jembatan tersebut sudah cukup tua, atau bisa jadi lapuknya
kayu disebabkan terendam air kanal dan terpapar terik matahari. Suhu yang
bergantian secara konstan diduga menjadi penyebab terjadinya pelapukan kayu.
Posisi balok yang jauh di bawah tebing kanal, membuat kami leluasa
bermain air. Secara bergiliran, kaki-kaki kami
terendam air kanal. Airnya dingin, apa lagi saat itu sinar matahari
belum begitu berpengaruh terhadap suhu air permukaan.
Mentertawakan berbagai macam hal sepanjang jalan, menjadikan
perjalanan pagi itu semakin santai.
Rute yang kami lewati, tentu tidak menelusuri keseluruhan
kawasan percandian. Wilayah itu—dengan segala histori, keunikan dan kekhasannya—terlalu
besar untuk ditelusuri dalam satu kali perjalanan. Kami hanya datang ke
beberapa lokasi saja. Waktu yang kami sepakati untuk berkeliling dan melihat-lihat
candi, hanya sampai tengah hari. Pertimbangannya sederhana, jika hari sudah terlalu
siang, matahari sudah mulai meninggi, dan cuaca waktu itu akan sangat panas. Selain
tidak membawa penutup kepala: payung dan jenis lainnya, hampir semua candi (juga
menapo) berada di lahan terbuka. Sehingga,
sepenggalah saja matahari meninggi, teriknya sudah akan terasa.
Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi astano. Jika sebelumnya
kita dari kanal kuno, untuk sampai ke lokasi tersebut hanya perlu membelok ke
kanan, lantas menyusuri jalan setapak. Dari ujung jalan beton ini bisa terlihat
Candi Astano.
Sesampainya di Astano, matahari sudah setinggi bubung rumah.
Panasnya sudah terasa menyengat di ubun-ubun.
Ketika menyusuri setapak menuju candi, kami berjalan cepat
sekali. Sesekali waktu kami berhenti: mengamati beberapa jenis pohon dan
tanaman yang tumbuh maupun sengaja ditanam di lokasi bersejarah itu. Di
kiri-kanan jalan setapak, kita bisa melihat pohon durian, duku, rambutan dan karet.
Selain itu, juga terdapat tanaman kakao yang ditumpangkan dengan kacang tanah.
Bahwa di kawasan percandian ini pernah ada peradaban melayu,
dulu, itu sudah diulas beberapa peneliti dan sejarawan.
Jika merujuk pada penetapan oleh Pemda setempat, luas situs
kuno itu adalah 2612 Ha. Namun, jika mengacu pada luas semua kawasan yang dianggap termasuk
situs cagar budaya itu, luasnya bisa lebih 12.000 Ha.
Kawasan percandian Muaraojambi telah menuai pujian dan
simpati, serta dikenal oleh warga dunia, namun juga menyimpan problem
tersendiri. Tidak sedikit ditemukan candi—yang teridentifikasi dan tercatat dalam
peta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi—yang masih berbentuk menapo. Belum direklamasi. Di saat
bersamaan, terdapat stock pile batu
bara dan tempat penampungan CPO, berada tidak jauh dari beberapa menapo.
Lokasinya masuk ke dalam Kawasan
Percandian Muaro Jambi—mengacu luas keseluruhan kawasan yang lebih 12.000 Ha
tersebut.
Kegiatan di dua jenis industri tersebut, secara langsung
peralahan-lahan akan mengikis batu-batu (bata) masa lalu tersebut. Merusak
perekat antar petak bata.
Kenyataan tersebut, kini menjadi gambaran bagaimana masa
lalu itu sendiri. Beberapa petak sejarah mungkin saja mulai (dan terus) terkikis,
sebagaimana kuat upaya penggaliannya kembali. Sementara perekatnya, seperti
situs-situs sejarah, mulai rusak. Ini membuat jarak antara masa lalu menjadi terputus
dari masa sesudahnya.
Di luar itu semua, menelusuri kawasan percandian Muaro Jambi
, dengan segala pengalaman dan catatan sejarahnya adalah sejarah tersendiri
bagi kami. Setidaknya, itu bisa menambah setapak jalan menguak sejarah melayu—khususnya
sejarah Melayu Jambi—yang masih memerlukan banyak pengungkapan.