Manusia, Perang dan Jalan Perdamaian


https://twb.nz/freepalestineforhumanity


Sepanjang sejarah peradaban manusia, perang adalah sebuah keniscayaan. 


Sejak ratusan, ribuan tahun lalu, bahkan jauh sebelum masehi, perang adalah sesuatu yang dilakukan umat manusia dengan berbagai bentuk, tujuan dan motif. Perang  meletus dalam skala dan radius yang berbeda-beda. 


Ada perang untuk mendapatkan sumber makanan. Perang mempertahankan sumber daya. Perang atas dasar keyakinan dan ideologi. Perang untuk menghindari diperangi. Juga perang yang semata untuk menguasai: penguasaan manusia atas manusia. 


Di zaman romawi kuno, perang merupakan pilihan banyak kelompok dan kerajaan dalam mewujudkan mimpi untuk memperluas wilayah dan membangun peradaban. 


Memasuki era industri dan seiring kemajuan teknologi, perang masih terus terjadi hingga meletusnya Perang Dunia I (1914-1918), lalu 

Perang Dunia II (1939-1945). 


Di masa kolonialisme, manusia sebagai warga dari satu teritori tertentu mesti berperang untuk memperoleh kemerdekaan, mempertahankan wilayah tanah airnya. 


Sampai era modern, perang juga masih terus terjadi, meski tak melulu terkait darah, pembunuhan atau pembantaian. Ada yang namanya perang dagang, perang kebudayaan, perang opini dan wacana. 


Bahwa ada perang dalam wujud politik, itu sudah pasti. Apalagi dengan semakin meluasnya paham demokrasi ke berbagai negara. 


Mao Zedong, seorang pemimpin politik dan tokoh besar Tiongkok (1893-1976), mengatakan bahwa "Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah." 


Semakin ke sini, bahkan dalam pertarungan politik sekalipun juga terjadi pertumpahan darah. 


Perang telah menunjukkan wajah lain manusia   yang bisa saling "memangsa" dan menghabisi satu sama lain. Mungkin, karena itu pula manusia juga disebut sebagai "Hewan". Seperti diungkapkan Aristoteles, seorang filsuf Yunani, bahwa manusia adalah "Hewan", meski diikuti kata "yang berfikir".


Manusia sendiri sudah sejak dulu tahu bahwa mereka memiliki naluri kebinatangan (hewan) yang bersemayam dalam setiap diri individu.  Sifat kebinatangan atau kehewanan ini akan semakin tampak jelas ketika manusia tidak menggunakan nurani, akal dan fikirannya. Ketika itu, mereka juga akan dengan mudah saling memerangi. 


Perang dalam bentuk yang sebenarnya, ia menjelma menjadi sesuatu yang teramat sangat mengerikan, bahkan untuk dibayangkan. Karena, ia dengan mudahnya menghilangkan nyawa banyak manusia, tanpa rasa ke-manusia-an. Contoh teranyar perang di Ukraina dan Palestina. 


Bumi pada mulanya merupakan tempat yang damai, lalu manusia datang membuat kerusakan. Dengan perang. 


Dalam dalil agama disebutkan, bahwa manusialah yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di bumi. 


Mereka memerangi sesama mereka, memerangi makhluk Tuhan lainnya, bahkan memerangi bumi atas nama "kebutuhan"--yang sebenarnya lebih pantas disebut keinginan. 


Baca juga : PETI


Maka jelaslah, barang siapa ingin melihat dunia yang damai, ia juga harus bersiap ketika para penghuni bumi saling berperang. 


Seperti perkataan Flavius Vegetius Renatus sekitar tahun 400 M di dalam buku De re militari:


Qui desiderat pacem, bellum praeparat“. “Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang“.


Di mana-mana perang telah dan sedang terjadi dengan berbagai bentuk, tujuan dan motifnya. 


Lantas, apakah manusia memang diciptakan untuk perang? Nyatanya, memang demikianlah adanya. 


Makhluk yang dibekali akal, naluri, kekuatan dan kelebihan itu bahkan harus siap untuk sebuah peperangan yang maha dahsyat. Manusia harus memerangi iblis dan hewan dalam dirinya. 


Utamanya, manusia harus berperang melawan nafsu dan egonya sendiri. Termasuk nafsu untuk menguasai dan memerangi manusia dan bumi. 


Perang yang disebutkan terakhir, ini tidak akan pernah selesai, dan jangan sampai berhenti sepanjang nafas kehidupan manusia. Karena hanya dengan perang yang demikian itulah, dunia akan diliputi kedamaian.

2 komentar:

  1. Nah perang terbesar ya, melawan hawa nafsu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Bunda. Perang yang harus dilakukan setiap orang, jika ingin merasakan damai.

      Hapus

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.