Menuliskan Melayu Jambi: sebuah upaya melawan lupa

Seloko Jurnal, Penelitian Sejarah Melayu Jambi

“Verba volant scripta manent,” 

Demikian pepatah Yunani. Apa yang hanya diucapkan tidak akan bertahan lama, sementara yang ditulis ia akan abadi.

Sesuatu yang hanya dikatakan dan tidak ditulis akan menguap seiring bergulirnya waktu. Baik yang hanya diucapkan maupun yang ditulis, kesemuanya akan menjadi sejarah. Satu di antaranya akan menjadi menjadi rujukan—atau barangkali wisdom—dan yang lain (mungkin saja) akan terlupakan.
Demikian halnya sejarah Melayu Jambi. Walaupun beberapa sumber menyebutkan telah ada Kerajaan Melayu Jambi sekitar abad 7 hingga 14 M, keberadaannya masih menyisakan banyak pertanyaan. Semacam misteri yang belum terpecahkan.

Budaya Melayu Jambi lebih dekat kepada budaya bertutur. Budaya lisan. Ini diperkuat dengan sangat sedikit sekali peninggalan, tradisi serta dokumen masa lalu yang berwujud dalam bentuk arsip tertulis. Menariknya, naskah tertua justeru adalah naskah Melayu yang ditemukan di Tanjung Tanah, sebagai potongan sejarah Jambi.

Banyak sekali kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan Melayu Jambi di masa lalu. Kearifan dan budaya tersebut bisa lestari dan diwariskan jika kemudian dienventarisasi dan ditulis. Topik inilah yang menjadi bahasan utama pada seminar “Seloko Journal Goes to Campus” yang diselenggarakan oleh Jurnal Seloko, Dewan Kesenian Jambi, bekerjasama dengan Universitas Jambi (Unja), Senin (23/4).

Hampir 100 orang peserta mengikuti kegiatan tersebut. Mereka terdiri dari mahasiswa dan mahasiswi, akademisi, serta pegiat seni dan budaya Jambi.

Tak tanggung-tanggung, panitia menghadirkan tiga narasumber sekaligus, untuk mengisi kegiatan tersebut dengan bedah artikel. Mereka adalah Maizar Karim, yang menjabat Pembantu Rektor III (tiga) Unja, Ratna Dewi, menulis tentang batik Jambi, dan Bambang Haryadi yang meneliti tentang Serampassalah satu daerah pedalaman di Jambi yang masih teguh memegang adat peninggalan nenek moyangnya.

Ruang Senat gedung Rektorat Unja kemudian menjadi ladang penggalian sejarah, budaya dan kearifan lokal Melayu Jambi,  berlangsung kurang lebih selama tiga jam.

“Kegiatan serupa juga akan dilaksanakan di Perguruan Tinggi–Perguruan Tinggi lainnya di Jambi,” kata Jumardi Putra, ketua panitia Seloko Journal Goes to Campus, dalam laporannya.

Kurangnya literatur tentang Jambi
“Orang Jambi menganut filsafat kolektif (bersama),” ungkap Maizar Karim, Pembantu Rektor III (tiga) Unja.  Ini pula yang menyebabkan kurangnya arsip tertulis tentang Jambi, terutama oleh orang Jambi sendiri

Maizar menambahkan, bahwa orang melayu Jambi lebih suka bercengkrama. Ngota (atau berdialog) istilahnya. Sangat berlawanan dengan kegiatan menulis. Menulis adalah laku individu, dikerjakan sendiri-sendiri  dan dalam kesendirian. Walhasil sejarah Jambi, kemudian hidup dalam cerita-cerita rakyat. Umumnya mengandung unsur mistisme.

Dalam 5 tahun terakhir saja buku yang secara khusus membahas tentang Jambi jumlahnya sangat sedikit. “Bisa dihitung dengan jari,” kata pemimpin redaksi Jurnal Seloko, Muhammad Husnul Abid, dalam sambutannya.

Kenyataan tersebut menjadi hambatan tersendiri dalam melakukan penelitian tentang jambi, karena sumber tertulis sangat minim. Literatur tentang melayu jambi hanya ada beberapa sumber lokal dan sedikit sumber luar. Sebut saja misalnya Uli Kozok, Barbara Watson Andaya, dan beberapa peneliti lain yang umumnya hanya sedikit berbicara Jambi. 

Ini menjadi kesulitan saat hendak meneliti tentang sejarah dan budaya Jambi,” kata Bambang, saat menjawab pertanyaan salah seorang peserta.

Menurut Abid, Provinsi Jambi sangat jauh ketinggalan dengan daerah lain di Sumatera dalam hal studi tentang sejarah dan kebudayaannya. Jika kita mengambil contoh Aceh, provinsi ini dalam 1 tahun terakhir telah menghasilkan kurang lebih 120 buku tentang Aceh. 

“Di tengah minimnya tulisan-tulisan dan studi tentang Jambi, Jurnal Seloko ingin mengambil ruang kosong itu,” ungkap Abid.

Selama ini, segala hal tentang Jambi, khususnya sejarah Melayu Jambi, tidak tercatat dengan baik dan sangat sedikit diketahui. Sangat sedikit sekali orang Jambi yang tahu tentang sejarah dan kebudayaannya sendiri. Umumnya hanya diketahui dan diingat oleh orang yang tergolong sudah sangat tua, dan itu tidak tertulis sehingga kurang terpublikasi.

Naswan Iskandar, Ketua Harian Dewan Kesenian Jambi mengatakan, tak hanya tentang sejarah dan budaya, banyak hal dari Jambi yang selama ini tidak terpublikasi. Sebagai contoh, ada kurang lebih 2.000 jenis pertunjukan tradisional tersebar di Provinsi Jambi, namun yang dikenal atau diketahui masyarakat luas hanya sedikit.

“Misalnya lagi, Kawasan Percandian Muarojambi yang sampai saat ini juga tidak dipublikasikan dengan baik,” sebutnya.

“Sejarah, budaya dan kearifan lokal Melayu Jambi, harus ditulis,” ucap Maizar di akhir sesi bedah artikel

Khususnya oleh orang jambi sendiri. Sudah saatnya bukan orang luar yang berbicara Jambi, tapi orang Jambi lah yang menuliskan tentang Jambi,” kata Ratna Dewi

“Jika tidak dilakukan, ia akan terkubur bersama orang-orang yang hanya mengenangnya dalam ingatan saja dan tidak dituliskan,” sebut Maizar.

Dialektika seputar sejarah dan kebudayaan Melayu Jambi, sampai sekarang memang belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masih sangat banyak informasi dan data faktual yang diperlukan. Namun, seiring berjalannya waktu, upaya sungguh-sungguh itu akan menemukan formulanya sendiri, sehingga Melayu Jambi yang pernah ada dalam sejarah tak hanya berada di wilayah “periferi” seperti ditulis Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial.

Apaboleh buat, melayu tak lengkap tanpa berpantun. Sebelum acara ditutup, salah seorang  peserta berpantun.

kayu miang dililit akar, hari siang perut lah lapar
Ha..ha..ha..

Semua peserta larut dalam tawa, dan Seloko Journal Goes to Campus berkahir sudah.


Diberdayakan oleh Blogger.