Petani, Riwayatmu Kini

(Antara Nilai Tawar dan Nilai Tukar)
bbi



“ Gubernur ‘galau’ mengetahui nilai tukar petani (NTP) Jambi rendah. Kisarannya berada di bawah angka seratus.”

Demikian kira-kira inti dari pemberitaan salah satu media lokal di awal tahun 2012 lalu. Waktu itu NTP Jambi menempati urutan buncit, peringkat 32 secara Nasional. Sebuah angka yang sangat jauh dari harapan. Puncaknya, Gubernur meminta agar Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi kala itu melakukan study banding ke daerah tetangga. Beliau masih tidak yakin ihwal NTP tersebut.



Fakta serupa di tahun ini terulang kembali. NTP Jambi pada Maret 2013 hanya sebesar 90,50. Menurun jika dibandingkan pada Februari di tahun yang sama, yakni 90, 77. Singkatnya, NTP Jambi tidak pernah melampaui angka aman (100) sejak tahun 2009.

Di akhir Maret lalu, Gubernur sempat kesal dan marah terhadap perilaku tengkulak karet yang masih mengeruk keuntungan di atas kesulitan petani.

Jika Gubernur kembali “galau” dengan NTP Jambi yang menurun di awal tahun ini, itu wajar! Bagaimana tidak, dalam catatan BPS rovinsi Jambi, hingga kini, lebih dari separuh masyarakat jambi bekerja di sektor pertanian. Dalam kata lain, lebih 50 persen warga jambi hidup sebagai petani. Suka atau tidak pertanian masih menjadi andalan, tumpuan utama dan penopang hidup sebagian besar masyarakat Jambi.

Kenapa Gubernur harus galau, padahal itu cuma NTP? NTP hanya salah satu indikator proxy kesejahteraan petani.

NTP memang bukanlah penentu tunggal sejahtera atau tidaknya petani, namun jika rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan harga yang harus dibayar tidak seimbang—bahkan timpang—tentu patut menjadi perhatian penting.



Disebabkan rendahnya NTP Jambi ini pula, pada 4 Juni kemarin, Ketua (Peltu) DPRD Provinsi Jambi, Aswan Zahari beserta rombongan mengunjungi kantor BPS Provinsi Jambi. Di kantor layanan data statistik tersebut berlangsung diskusi, dihadiri tokoh masyarakat dan akademisi. Tema diskusi menukik pada upaya “Mencari solusi untuk menaikkan nilai tukar petani (NTP) Provinsi Jambi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani”.

Meningkatkan kesejahteraan petani dan memajukan sektor pertanian menjadi penting karena produktivitas tenaga kerja di sektor ini memberi sumbangan yang paling besar terhadap PDRB Provinsi Jambi, yakni 29 %, sementara sektor lain berada di bawah 20 % (BPS, 2011).

Nilai Tawar Petani
Secara kasat mata, fakta lapangan menunjukkan betapa kesejahteraan petani kita masih rendah. Lihatlah begitu susah mereka menyekolahkan anaknya, bahkan dengan biaya gratis sekalipun. Karena tenaga anak-anak mereka lebih dibutuhkan untuk menambah penghasilan keluarga. Kalau tidak begitu, cara lainnya adalah banyak anak petani yang sekolah sambil bekerja. Petani yang memiliki lahan sendiri juga sedikit, karena banyak yang bergantung kepada toke (tengkulak), dengan hubungan turun-temurun : patron-klien.

Miris memang. Tapi begitulah keadaannya, karena kebanyakan petani yang umumnya mengusahakan lahan tani secara tradisional hingga semi modern, sulit mendapatkan keuntungan dari kerja keras yang mereka lakoni. Harga produk pertanian tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani untuk berproduksi, termasuk biaya hidup sehari-hari.

Beruntung jika memiliki sedikit lahan, kebutuhan rumah tangga mungkin bisa terpenuhi: sayur bisa dipetik dari ladang; beras/padi dihasilkan dari sawah. Jika tidak punya lahan mereka terpaksa berhutang ke toke. Maka semakin terjepitlah si petani.

Tidak berlebihan jika dikatakan nilai tawar petani di Jambi, rendah. Profesi ini, sadar atau tidak, telah ditempatkan pada tangga bawah dalam hierarki/kelas sosial. Bertani di-stigma-kan sebagai pekerjaan nomor sekian, tidak memerlukan keahlian khusus (unskill), dan dianggap lumrah dikerjakan tanpa teknologi. Kenyataan ini jadi penguat rendahnya nilai tawar petani.

Para petani yang beruntung bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi (PT), cenderung ingin agar anaknya tidak berkubang di sektor vital itu. Sejalan dengan itu, para sarjana pertanian jarang sekali benar-benar berkecimpung sesuai bidang keilmuannya. Paling banyak yang memilih jadi karyawan bank, sales pembiayaan, atau pekerja  perusahaan perkebunan.

Tak heran jika banyak area menjadi lahan tidur yang tidak potensial. Sawah-sawah tetap berlumpur dengan permasalahannya sendiri. Sementara ilmu, tenaga, dan pikiran para sarjana pertanian menguap ke mana-mana. Semakin bertumpuklah permasalahan di sektor ini, di tengah lambaian tangan pemerintah yang minus solusi.

Akhirnya, pertanian tetaplah menjadi halaman belakang dalam bab-bab pembangunan. Kebun-kebun, ladang-ladang, dan sawah-sawah kita tetap dikerjakan para orang tua yang tidak mengecap ilmu pertanian modern. Hal itu diperparah pula dengan minimnya informasi, keterampilan, dan teknologi yang diberikan kepada mereka. Sebuah ironi yang mendekati sempurna.

Sumberdaya alam Jambi, anugerah ataukah bencana?
Kita hebat dalam mengemas isu pertanian menjadi isu politik, tapi kita gagal memanfaatkan kekayaan alami tanah kita untuk kemajuan daerah.

Dari Kerinci hingga Ujung Jabung, kita dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah. Tanah yang subur dan kekhasan daerah masing-masing dengan bentang alam, jenis tanah dan banyak kekayaan lainnya. Jika ini bisa dikelola dengan baik, setiap daerah bisa memiliki kekhasan produk sendiri.
Kita rindu produk pertanian yang menjadi unggulan: durian selat, nenas tangkit, ubi jalar selat, kentang kerinci, teh kayu aro. Jika kekayaan itu tidak dikelola dengan baik, jangankan untuk menghasilkan produk unggulan baru, yang sudah ada justru malah hilang dari peredaran.

Jika pemerintah memakai ideologi pembangunan yang serba instan, dengan cepat kebun-kebun karet rakyat akan bertumbangan. Kemudian, tanah-tanah kosong dibiarkan terlantar atau berganti ruko-ruko dan perumahan; lahan-lahan pertanian menjelma konsesi pertambangan.

Tentu, tidak ada yang sudi kekayaan alamnya hanya menjadi tumpukan menjadi bencana. Jika pemerintah menangani masalah di sektor ini masih asal ada, terkesan serampangan, sejatinya mereka tengah menempuh jalan tol ke pembangunan yang lebih pro kapitalis alih-alih ekonomi kerakyatan.

Sinergitas
Galau saja tidak cukup! Bapak Gubernur yang berlatar belakang anak petani dan “orang dusun”—demikian sering beliau sebut dalam sambutannya—tentu sudah tahu seluk-beluk dan permasalahan inti pertanian Jambi. Beliau juga pernah merasakan susahnya kehidupan petani di zamannya. Setelah didukung dengan data BPS dan background yang dimiliki, kini apa lagi?



Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dituntaskan jika dilakukan bersama. Sebaliknya, akan sulit jika dilkerjakan sendiri. Kemajuan pertanian Jambi, sejatinya memang, bukan hanya tanggung jawab Gubernur atau pemerintah saja. Banyak tangan-tangan ikhlas dibutuhkan.  Semua pihak harus  bersinergi.

Tidak ada kata terlambat! Setidaknya dalam diskusi singkat di Kantor BPS Provinsi Jambi, Selasa lalu,  akar permasalahan sudah teridentifikasi. Beberapa solusi sudah diajukan berbagai kalangan. Pola pembangunan Bottom-Up adalah jawaban dari rencana pembangunan itu.

Pemerintah bisa bekerjasama dengan PT, mengerahkan tenaga intelektual dan tangan-tangan terampil sarjana pertanian untuk bahu-membahu membangun dari kampung-kampung terpencil. Intensitas dan kontinuitas penelitian dari Lembaga Penelitian dan PT juga diperlukan. Investasi untuk pembangunan industri hilir pertanian, fasilitas transportasi dan penggudangan yang baik, serta jaringan pemasaran atau keterjaminan pasar. Minimalisasi kebijakan yangsekedar reaktif dan temporer, dan mencanangkan program yang berjangka panjang dan terukur. Tentu semua itu harus disosialisasikan kepada semua kalangan, sebagai upaya menjadikan sektor pertanian sebagi fokus bersama.

Pada gilirannya nanti sektor pertanian kita akan berdaya. Jangankan untuk memenuhi konsumsi sendiri, bahkan produk pertanian kita—baik yang sudah diolah maupun yang masih bahan baku—akan merajai pasar ekspor ke manca negara. Ini seperti mengulang kejayaan karet jambi tempo dulu (karet jambi pernah berjaya kurun waktu 1920-an s.d 1930-an).

Era kebangkitan sektor pertanian Jambi sudah di depan mata. Jika pemerintah serius memajukan sektor ini, tak perlu menunggu lama lagi. Fakta NTP Jambi yang rendah adalah pemantik sekaligus pelumas bagi percepatan upaya-upaya memajukan sektor andalan masyarakat itu, sehingga nilai tawar petani Jambi menjadi tinggi. Bersama itu, nilai tukar petani (NTP) akan terpacu naik bahkan melampaui angka seratus. Masyarakat Jambi—wabilkhusus petani—sudah lama menanti momentum itu. Semoga dalam kepemimpinan Gubernur yang sekarang semua “asa” ini menemukan formula “nyata”.

Tidak ada komentar

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.