Catatan
Jambi
lingkungan
pencemaran
Harus Kuat
Ba’da Maghrib, Imron tak lantas keluar Mushalla. Ia masih menambah dua rakaat shalat ba’diah. Selepas salam ia baru sadar ada aroma menyengat yang makin menusuk hidung. Baunya seperti abu. Seperti ada yang terbakar. Pikirannya mulai bertanya-tanya. Siapa yang memanggang sampai segosong ini?
Di luar kabut pelan-pelan kian tebal menyelimuti malam. Asap putih seakan ingin menampakkan wujudnya di bawah remang cahaya lampu jalan.
Imron lalu keluar. Ingin sekali ia segera mencari tahu penyebab bau gosong dan kabut yang datang malam ini.
Terdengar olehnya percakapan dua orang jamaah Maghrib di teras Musholla.
“Asap apa ini, ya?,” tanya yang lebih tua.
“Kebakaran,” jawab yang satunya.
Sejurus kemudian, lima truk batu bara melintas dengan sedikit jeda. Truk-truk terlihat menyibak asap dan meninggalkan kabut yang lebih tebal. Asap bercampur debu menampar wajah Imron saat berkendara menelusuri sempadan jalan.
Imron bergumam sejenak. Apakah truk ini yang sebabkan asap? Jika kebakaran, kebakaran di mana. Seharian belum ada ia dapat info kebakaran di Batanghari.
“ah.. sudahlah,”gumamnya.
Di perjalanan pulang, soal asap masih menyita 80 persen pikiran Imron. Ia semakin cemas. Anak laki-lakinya sudah lebih semingguan ini pilek dan hidungnya tersumbat jika tidur. Obat-obat yang dia berikan tak menunjukkan reaksi menyembuhkan pada buah hatinya itu. Besok ia harus lagi memikirkan air sumur yang hanya cukup untuk mandi dan buang hajat.
Merah putih di tiang depan rumah Imron menyambutnya dengan kibaran yang malas. Imron berhenti dan memandang bendera yang baru tadi pagi ia pasang di tiang itu.
Sejenak... Ia termenung.
“Rakyat memang harus harus kuat, menghirup asap, menikmati musim kering dan kemarau, dan mandi debu batu bara,” Imron menarik nafas panjang.
***
Baca juga: Batas
Tidak ada komentar
Tulis komentar sahabat di sini...