BUKU
Catatan Perjalanan
Jambi
Tungkal
Cerita Penting dari Panting
Desa Panting I terletak kurang lebih dua puluh kilo meter dari kota Kuala Tungkal. Bisa ditempuh dalam waktu relatif singkat: seperempat jam mengendarai motor. Lahannya yang ber-gambut mencirikan bahwa wilayah ini dekat dengan pantai.
Di banyak tempat bisa disaksikan pohon-pohon kelapa yang tumbuh tinggi menjulang. Susul-menyusul dengan pohon pinang.
Di bawahnya, kadang ditanam kopi varietas lokal. Sedikit dari lahan bergambut itu, ada juga yang ditanami sawit. Yang belakangan ini mulai digalakkan penanamannya di wilayah ini.
Aroma segar udara di Panting I masih sangat khas pedesaan. Walaupun mobil dan jenis kendaraan roda dua sering lalu-lalang di sepanjang jalan raya yang menghubungkan Kuala Tungkal dengan Kota Jambi, namun banyaknya jenis tumbuhan dan tanaman di kiri-kanan jalan, cukup mampu membuat udara di sini menjadi segar kembali.
Cerita ini sebenarnya bukan dikhususkan untuk menampilkan keadaan alam di suatu daerah—lebih tepatnya desa—yang berada di Kabupaten Tanjung jabung Barat. Melainkan, ini tentang taman baca yang berada di Desa Panting I, yang masuk wilayah kabupaten dengan slogan “Serengkuh Dayung Serentak Ke Tujuan” tersebut.
Kami (Saya, Jumardi Putra dan Joko) mengunjunginya pada Senin (9/7) lalu. Taman baca ini merupakan bangunan permanen, yang terletak kurang lebih enam meter dari bahu jalan: sebelah kiri, jika kita dalam perjalanan dari kota Kuala Tungkal menuju kota Jambi, atau sebaliknya. Penanda lainnya, bangunan taman baca tersebut terletak setelah jembatan yang memotong parit Panting I.
Letaknya yang menjorok ke dalam, dan rimbunnya beberapa jenis tanaman di bagian kiri-kanan dan depan bangunan, membuat taman baca ini sedikit sukar terlihat dari jalan raya. Hanya orang-orang yang sudah tahu saja yang akan dengan mudah menemukan tempat ini.
Di dalam bangunan empat kali enam meter (kurang lebih) tersebut, dapat kita jumpai rak-rak kayu berisi buku yang disusun rapi. Koleksi bukunya antara lain buku umum seperti karya fiksi dan non fiksi, buku paket belajar anak sekolah, dan beberapa buku bergenre agama. Di Taman Baca ini juga terdapat perlengkapan seperti sound system, tape, dan meja tempat membaca.
“Selain buku, taman baca juga menyediakan kursus komputer bagi anak-anak,” ujar Toha, pemilik Taman Baca “Giat” (nama taman baca tersebut).
Toha mengakui bahwa Taman Baca “Giat” sangat kekurangan koleksi buku. Hanya ada buku-buku lama. Dia mengatakan sangat kesulitan mendapatkan tambahan koleksi buku. Sudah beberapa kali mengajukan proposal ke Pemda, namun belum ada tanda-tanda turun bantuan.
Taman Baca “Giat” sudah ada sejak 2010. Menurut Toha, pengunjungnya lumayan banyak, terutama anak-anak usia sekolah.
Daftar kunjungan yang ada di meja tamu menjadi penguat pernyataan tersebut. Saya, menyempatkan memeriksa buku agenda yang berisi daftar kunjungan tamu, tanpa sepengetahuan pemilik taman baca itu.
Lek Toha, demikian ia biasa dipanggil, sehari-hari mengajar di MTs Panting I. Ia biasa mengajar pada siang hari. Jika sudah demikian, tak jarang, taman baca ini dibiarkan terbuka dan tidak ditunggu.
Mengenai mekanisme peminjaman buku, Lek Toha mengandalkan kejujuran si peminjam. Tamu yang ingin meminjam dipersilahkan mengambil dan menuliskan sendiri identitas diri dan buku yang dipinjamnya, di buku peminjaman.
Memanjakan diri
Selepas mengamati dan melihat-lihat seisi bangunan Taman baca “Giat”, duduk di luar bangunan membawa kesejukan tersendiri. Kami berbincang-bincang dengan pemilik taman baca “Giat” di teras bangunan.
Bukan hanya karena matahari yang sudah berada di barat sehingga cuaca tidak terik—karena kami berkunjung ke taman baca pada sore hari—, angin sepoi-sepoi juga menambah nikmatnya duduk di teras bangunan taman baca “Giat”. Apalagi, si pemiliknya menyuguhkan kelapa muda satu buah per orang.
Alamaaak..
Lengkaplah sudah kunjungan singkat kami, memanjakan mata sambil memanjakan diri dan selera.
Sayang, kami tak bisa banyak menikmati koleksi buku Lek Toha. Tapi semangat membaca yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu semakin menyadarkan saya: betapa membaca itu penting. Itu semangat yang ditularkan Lek Toha di Panting.
Selembar spanduk terbentang di bawah atap, bertuliskan "Taman Baca Giat", baru terbaca oleh saya ketika hendak meninggalkan tempat itu. Spanduk yang sudah usang, namun bertuliskan slogan dengan semangat yan, menurut saya, tidak pernah usang.
“Dari desa kita menjelajah isi dunia”, demikian ia ditulis.
Dari Panting, kita seakan diingatkan lagi, lagi, dan lagi, bahwa membaca itu Penting!