“Tahun 2013 adalah tahun Politik.” Demikian
diungkapkan politisi muda, Bima Arya Sugiarto, beberapa waktu lalu. Ungkapan
itu tentu bukan pernyataan kosong. Bahkan, “Menteri Koboi” –demikian gelar yang
disematkan Media—Dahlan Iskan, sudah diwanti-wanti oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) tentang kondisi tersebut. Hal ini
mencuat menyusul tragedi mobil listrik Tusuxi yang dikendarai Dahlan.
Bahwa pada tahun yang disebut-sebut sebagai “tahun politik” segala sesuatu bisa
dikait-kaitkan secara politis.
Tak berbeda jauh, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla
mengatakan, bahwa tahun ini (2013) adalah tahun pencitraan (http://news.detik.com,
07/01)—yang muaranya, tentu saja politik. Maka tak heran, pengamat politik
semisal Sukardi Rinakit menyebut—mungkin agak berlebihan—di tahun 2013 rawan terjadi
korupsi politik. Itu dikarenakan tahun ini adalah tahun terakhir persiapan menghadapi
pemilu 2014.
Di tahun ini, suhu politik nasional akan semakin memanas.
Isu-isu pembangunan akan dengan mudah menjadi komoditas politik. Kerja-kerja
pemerintahan akan dengan cepat terpolarisasi ke dalam kepentingan-kepentingan
dan target-target politis. Sementara gerak-gerik di luar pemerintahan bisa saja
mempunyai agenda setting yang sarat muatan politis.
Tapi, mari lupakan sejenak cerita di atas…
Jauh dari ingar-bingar perpolitikan nasional, di kota
jambi kondisinya tak berbeda jauh. Hampir setiap hari informasi politik jelang Pemilihan
Walikota (Pilwako) memenuhi space (halaman)
media cetak. Genderang kompetisi sudah jauh-jauh hari ditabuh. Perang isu dan
iklan di media massa semakin kentara.
Jika tidak ada aral menghadang, hanya tinggal beberapa
bulan ke depan (akhir Juni) akan dilangsungkan perhelatan demokrasi untuk
memilih Pemimpin Kota Jambi untuk periode 2013-2018. Ini adalah moment
penting. Persiapannya tentu melibatkan semua elemen masyarakat.
Persiapan tersebut, secara garis besar, dilakukan oleh empat
kelompok kepentingan. Sebagian di antaranya secara sadar sudah menyiapkan diri, sebagian lain—mau
tidak mau—dituntut harus siap. Mereka
adalah pertama, peserta: para
kandidat yang akan bertarung, berikut
organisasi tim sukses sebagai pendukung, massa simpatisan termasuk
didalamnya investor politik; kedua, penyelenggara: Komisi Pemilihan
Umum Kota dan Pemerintah
Kota Jambi selaku tuan rumah; ketiga, penjaga: pengawas dan
pemantau, termasuk di dalamnya aparat keamanan (sipil dan militer), pengamat, NGO dan lembaga terkait serta Perguruan
Tinggi selaku instrument yang turut berperan menjamin penyelenggaraan dan
tahapan Pilwako berada pada rule yang
benar: langsung, bersih,
jujur, adil dan rahasia yang lancar, tertib, aman, dan sesuai dengan tujuan demokrasi; terakhir, tak kalah penting, dan paling
menentukan, adalah para pemegang hak istimewa: Pemilih yang akan menentukan
nasib Kota Jambi setahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan bertahun-tahun
kemudian.
Pemilih atau pemilik suara sangat
vital perannya dalam setiap “pesta” lima tahunan itu. Karena, yang ditentukan
dalam helatan tersebut bukan saja nasib pemerintahan yang akan dinakhodai oleh
pemimpin yang baru—kadang lebih gandrung mengurus bongkar-pasang kabinet. Jauh di atas itu semua,
ada sekitar 540.258
jiwa yang hidupnya dipengaruhi, bergantung, hasil pemungutan
suara kurang dari satu hari itu.
Posisi penting Pilwako
Jambi
Sebagaimana lazimnya kota lain di Indonesia yang merupakan
Ibukota Provinsi, Pilwako di Kota Jambi tentu menarik dicermati. Pemilihan Kepala Daerah di
tingkatan ini sering dijadikan barometer bagi daerah-daerah lainnya dalam
lingkup satu provinsi.
Sebagai ibukota provinsi, perilaku pemilih di Kota Jambi bisa
dikatakan berbeda dibanding pemilih di
kabupaten/kota lain di Provinsi Jambi, mengingat rata-rata tingkat pendidikan para pemilihnya
yang tinggi. Argumen
ini akan terbantahkan jika tingkat pendidikan daerah lain juga sama, atau lebih
tinggi.
Selain itu, Kota Jambi bisa
dikatakan mengakomodasi banyak type pemilih. Mereka berasal
dari berbagai etnis, daerah, baik dalam provinsi maupun dari luar Provinsi Jambi.
Semuanya menjadi lebur dalam satu
kesatuan entitas sosial masyarakat kota. Maka, isu kesukuan dan ego kedaerahan
terkadang sudah tidak bisa menjadi daya pikat lagi dalam kotestasi Pilwako.
Para pemilih juga sudah semakin cerdas berdemokrasi. Akses
informasi yang cepat dan terbuka, mengakibatkan penetrasi informasi terjadi
begitu masif. Alhasil,
masyarakat semakin melek informasi. Berita yang
lebih valid, lebih massal, dan lebih logis akan lebih mudah diterima.
Opini yang muncul dan berkembang, kemudian,
adalah opini yang terbentuk dengan sendirinya, sesuai dengan realitas dan fakta yang ada, karena sharing informasi terjadi secara wajar dan berimbang. Selajutnya, opini
tersebut menjadi fakta yang diterima dan diakui secara
luas. Inilah salah satu faktor yang memengaruhi pilihan politik masyarakat Kota
Jambi nantinya.
Pemimpin Muda
Ada banyak persoalan yang harus ditangani serius walikota
periode mendatang. Beberapa di antaranya mencuat pada forum diskusi Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), Sabtu (07/04/2012) lalu: seperti
tata ruang, infrastruktur. Menyusul
kemudian fakta-fakta seputar akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan persoalan
lainnya, yang tidak terendus maupun yang sudah menjadi bahasan di media massa.
Untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut, rasanya
sulit jika diserahkan pada orang biasa. Diperlukan
pemimpin muda yang berkarakter untuk menjawab itu semua. Pemimpin Besar
Revolusi, Soekarno, pernah berkata “berikan padaku sepuluh pemuda, maka akan
kugoncang dunia!” Suaranya menggelegar ketika mengatakan hal tersebut.
Soekarno tentu tidak sedang mengigau ketika meneriakkan
itu. Dan juga, tentu saja, yang
beliau maksud pemuda bukanlah muda yang diartikan secara harfiah dengan patokan usia
saja.
Muda, diartikan sebagai kaum yang mampu membawa
perubahan, membuat pembaruan. Ia siap menggebrak, tegas dan berani bertindak.
Siap mengambil resiko, visioner, energik. Siap menjadi bagian kemajuan tanpa
kehilangan integritas. Pencirian ini sekaligus menjadi titik temu, benang
merah antara dikotomi tua-muda. Karena
muda tidak semata dikungkung batasan umur dan defenisi
bahasa. Apatah lagi slogan propaganda, maupun polesan advertensi. Karya nyata, dan
ciri di atas adalah identifikasi awal pemimpin muda dan berkarakter dimaksud.
Akhirnya, perbaikan dan kemajuan Kota Jambi ke depan tergantung
apakah pemimpin muda dan berkarakter itu hadir dan mengambil peran, siapkah
masyarakat luas memberikan kesempatan, dan sanggupkah pemilik hak suara sebagai
penentu mengeksekusi pilihannya dan mengamanahkan pada pemimpin muda? Kalaulah tahun
ini menjadi tahun monumental kemunculannya, maka para pemilih—dengan
izin Tuhan—dan seperangkat bilik suara akan menjadi saksi perubahan itu.
Tulisan ini dimuat di Jambi Independent (Jumat, 11 Januari 2013)
ini versi lengkapnya