Ini Sebab Petani Karet Tak Sejahtera

karet


Meski menjadi produsen utama karet di Indonesia, petani karet masih jauh dari kata sejahtera. Menurut perspektif Skeptis Globalisasi, apa yang dialami oleh petani karet ini merupakan dampak dari bekerjanya sistem kapitalisme global yang menempatkan Dunia Ketiga dengan SDA-nya sebagai lahan imperialisasi terkini. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya perhatian pemerintah melalui beragam inovasi kebijakan yang dihasilkannya.

Beberapa poin tersebut mencuat dalam diskusi yang digelar Melayu Institute, di Ruang Rapat Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Kamis (6/4).

“Karet merupakan salah satu komoditas utama yang diusahakan oleh masyarakat Indonesia,” kata Pahrudin, ketika menyampaikan hasil risetnya yang menjadi bahasan dalam diskusi itu.

Sebanyak 85,10 persen dari total 3,5 juta hektar karet Indonesia diusahakan secara mandiri oleh rakyat, termasuk di Jambi. Provinsi Jambi sendiri memiliki 662.213 hektar kebun karet, dengan kepemilikan terluas ada di Kabupaten Merangin.

Dalam pemaparannya, Akademisi pada Universitas Airlangga (Unair ) Surabaya ini menyebutkan, sepanjang beberapa kali periode Pemerintahan Republik Indonesia, kebijakan pemerintah terkait karet sendiri ada tiga program besar, yakni : PIR, Program Revitalisasi Perkebunan, dan Peremajaan Karet.

“Provinsi Jambi sendiri, ada kebijakan peremajaan karet, beberapa tahun lalu,” sebutnya.
Dia menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan di Tabir Ilir Kabupaten Merangin, berpijak pada perspektif teori skeptis globalisasi, problem yg dialami petani karet merupakan dampak lokal dari penetrasi kapitalisme global yang diterapkan di dunia ketiga.

Globalisasi, kata dia, bukan hal baru, tapi sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Cuma topengnya saja yang berganti.

“berdasarkan teori skeptis, globalisasi tidak menguntungkan bagi kita. Karena kita hanya sebagai penyuplai bahan mentah,” sebutnya.

Globalisasi, lanjut Pahrudin, adalah imperialisme dengan barbagai agen, baik di tingkat pusat hingga daerah. Hal itulah yang tengah terjadi dengan karet, yang merupakan komoditi unggulan dan sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat Jambi.

Solusi dari masalah yang dihadapi petani karet, dikatakan Doktor Sosiologi tersebut, perlu adanya campur tangan negara untuk memajukan sektor ini dengan konsep New Public Service. Peran negara dalam penentuan harga pasar karet sangat menentukan, kemudian edukasi petani juga penting, membangun industri berbahan karet dekat sentra kebun rakyat, dan inovasi campuran karet pada aspal.



Pengelola Melayu Institute, M Husnul Abid dalam kesempatan yang sama mengatakan, memang peran negara, tidak hanya karet, tapi di bidang lain juga sangat penting. Namun, berdasarkan pengakuan masyarakat, peran penting pemerintah inilah yang dirasakan sering tidak ada ketika dibutuhkan.

Ia mencontohkan komoditi Kelapa Dalam yang ada di daerah hilir Provinsi Jambi, seperti Tanjung Jabung Barat. Komoditi tersebut, menurut pengakuan masyarakat, diusahakan sendiri seperti tanpa ada peran serta pemerintah.

“peran negara kurang dirasa oleh masyarakat,” sebutnya.
Untuk mengangkat isu-isu , permasalahan dan temuan-temuan yang ada di Jambi, kata Abid, pihaknya sengaja mengundang dan mengumpulkan orang-orang dari berbagai kalangan lewat diskusi berkala yang diselenggarakan Melayu Institute.

Sementara diskusi yang difasilitasi Melayu Institute dengan Topik “Petani Karet dalam Pusaran Globalisasi: Alternatif Solusi Perspektif Skeptis Globalisasi” hari ini, dihadiri dari kalangan akademisi, Pegiat LSM, dan dari Media.(Jhoni/Kjnews)

Tidak ada komentar

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.