Pasuruan-Probolinggo; dari Sate Komo hingga Wisata Bromo (1)

Bekerja sembari melakukan petualangan, kenikmatannya berkali-kali lipat lebih besar daripada hanya menjadi mesin pencetak uang. Beruntungnya, pekerjaan apapun yang kita lakoni bisa menjadi alam petualangan, jika kita mau. Ya... Apapun itu!
Kali ini aku akan menceritakan pengalamanku bertualang ke Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Salah satu kenangan saya di Bromo

***
NADA “Pizzicato”—salah satu pilihan nada dering— dari smartphone yang tergeletak di meja membuyarkan konsentrasiku melahap buku karangan A Fuadi, siang itu. Suara itu merupakan nada notifikasi pesan masuk, android yang aku miliki.  Aku pun sekonyong-konyong membukanya.

Benar saja. ‘Sepucuk’ Email dikirimkan Supervisor-ku dari seberang. Isinya adalah Tiket yang sudah di-issued untuk keberangkatanku ke Jakarta dua hari berikutnya.

Jakarta sebenarnya bukanlah tujuan utamaku. Kota metropolitan ini hanya menjadi tujuan antara. Lusanya, aku akan melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Tentu setelah nanti malam, dan hingga sepertiga malam besoknya, aku menginap di kota hujan, Bogor.

Dini hari, pukul 02.40 Wib, aku bersama supervisor dan seorang kawan sudah berangkat ke Bandara Soekarno Hatta (Soetha), Cengkareng. Kami bertiga akan melakukan penerbangan ke Surabaya. Pesawat yang kami tumpangi berangkat pagi sekali. Kalau tidak salah, ini penerbangan perdana, hari itu. Kami sengaja berangkat dini hari dari Bogor, supaya terhindar dari kemacetan di Ibukota.

Kami baru sampai di Bandara setelah kumandang azan Subuh. Aku bergegas menuju mushalla sesampainya di Bandara Soetha. Pesawat kami hari itu, berangkat sesuai jadwal.

Di Surabaya, sudah ada mobil sewaan—tentu dengan driver sewaan juga—yang menunggu kedatangan kami di Bandara Juanda. Dari Juanda, kami lalu melanjutkan perjalanan ke Kota Pasuruan. Di kota ini, beberapa orang kawan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah sudah menunggu untuk bergabung dalam penelitian.

Di Kota Pasuruan driver membawa kami berkeliling alun-alun, lalu berhenti di warung makan. Warung ini desainnya sederhana. Menu andalannya? Apalagi kalau bukan Nasi Rawon, juga Sate Komo. “Ini khasnya Pasuruan,” kata driver kepadaku.

Aku agak kaget juga waktu itu, ketika dihidangkan sate. Potongan-potongan daging yang ditusuk bambu itu ukurannya besar-besar. Sangat berbeda dengan sate yang biasa kutemukan di Sumatera.
“Ini apa bu?” tanyaku kepada pelayan yang menghidangkan sate.
“Ini yang namanya sate komo mas,” jawab si ibu, disertai senyum. “Kalo yang ini rawon setan,” si ibu menambahkan.

Sate Komo
Tanpa berpikir panjang, potongan daging sate komo  kulahap dengan cepat. Rawon setan langsung  kutuangkan kuahnya ke piringku, seperti kesetanan. Aku kesetanan. Kesetanan rawon setan. (hahaha)

Rasanya memang agak aneh bagi lidahku yang baru merasakan jenis makananan khas Jawa Timur ini. Tapi, perpaduan pedas dan asam yang pas, membuat mulutku tak bisa berhenti mengunyah. Kenikmatan rawon, juga sate komo, semakin lengkap ditemani kerupuk khas yang disodorkan pemilik warung makan.

Usai makan, kami melanjutkan mencari tempat menginap. Pilihannya Hotel Pasuruan, tidak jauh dari alun-alun. Kami segera beristirahat. Besok harinya kami akan melanjutkan perjalanan ke lokasi penelitian, di Kabupaten Pasuruan.

***
Singkat cerita, petualanganku di Kabupaten Pasuruan akhirnya berlanjut rencana wisata ke Gunung Bromo. Waktu itu kami sudah menginap di desa terdekat menuju gunung : Desa Wonokitri Kecamatan Tosari.  Aku kebetulan ditugaskan untuk mencari Hardtop (atau Jeep), mobil sewaan untuk menjelajahi wisata Bromo. Kami memutuskan ke Bromo besok harinya. Masih di awal Mei 2017.

Kami berangkat pagi-pagi sekali, sekira pukul 03.00 Wib. Jeep yang kami sewa, telah menunggu di persimpangan jalan menuju tempat kami menginap. Mas Ikade, nama pemiliknya, menelponku ketika kami sedang bersiap-siap untuk penjelajahan tersebut.

Kami sudah sepakat pada siang harinya, bahwa untuk menjelajahi wisata Bromo, kami menggunakan jasa Mas Kadek (demikian ia biasa disapa). Biaya sewa jeep waktu itu Rp. 500.000. Harga jasa angkutan ke Bromo memang tergantung nego dan rute yang dituju.

Kami  memilih tiga tempat untuk dijelajahi: Menyaksikan sunrise di puncak Pananjakan, dilanjutkan mendaki Bromo dengan keindahan pemandangan dan fasilitas berkuda yang ditawarkan, terakhir kami ke Bukit Teletablis, eh... telethabis, aih... teletubbies (sampai belepotan nulisnya. hahaha). Sepanjang perjalanan sejak di pelataran, aku tidak bisa tenang. Petualangan ke Bromo adalah yang pertama kali buatku. Ada rasa bercampur entah: senang, penasaran, dan lain-lain.

Nasib Pemburu Sunrise
Untuk menyaksikan matahari terbit di Bromo, kami harus berada di puncak Gunung Pananjakan. Orang biasa menyebut puncak Pananjakan 1—puncak Pananjakan 2 Gunung Bromo terletak di Kabupaten Probolinggo. Letaknya masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS). Dengan memulai perjalanan pukul 03.00 Wib dari Wonokitri, kata Mas Kadek, kami akan tiba di sana paling lambat setengah jam sebelum sunrise. Untuk mendapatkan momen langka tersebut, kami harus sudah berada di puncak Pananjakan antara pukul 04.30 Wib hingga 05.00 Wib.
Jeep kemudian dipacu. Berburu dengan waktu. Sepanjang perjalanan ada ratusan jeep terlihat lalu-lalang. Kendaraan roda dua juga ramai-ramai konvoi menuju Pananjakan.

Di Panajakan 1, matahari terbit akan terlihat dari puncak sekira pukul 05.20 Wib. “Sebelum setengah lima sudah nampak,” terdengar penjelasan seorang wisatawan kepada temannya yang berdiri di depanku, setibanya kami di puncak.

Detik-detik menunggu sang surya muncul, para “pemburu sunrise” terlihat tidak sabar. Berbagai macam tingkah dan aktivitas mereka lakukan selama menunggu. Aku yang sedari tadi ikut menunggu—dan belum ada tanda-tanda sunrise—beranjak untuk melaksanakan shalat subuh. Di area ini sudah disediakan tempat untuk pengunjung—bagi yang muslim—shalat.

Usai sembahyang,  aku pun kembali ke tempat duduk semula. Tempat itu telah diamankan oleh seorang kawan.  Sebentar saja, aku kemudian memutuskan berdiri. Jumpalitan orang-orang, berdiri, berjalan, di depanku. Aku tak leluasa melihat ke arah yang diyakini sebagai tempat kemunculan matahari. Jika dari tangga, kita hanya berjalan agak ke kanan. Di situlah aku berharap mengintai sunrise.

“Aaah...,” suara kekesalan orang-orang terdengar berjamaah, memecah ketegangan penantian sunrise. Suara itu dari sebelah kiri tempatku berdiri. Ternyata tepat di depan mereka pelan-pelan sumber cahaya mulai menyembul dari balik bukit.

Aduh..!  Keliru. Sebagian wisatawan keliru. Sunrise muncul tepat di samping kiri pendopo. Orang-orang berduyun-duyun ke sumber suara. Aku segera berlari mengikuti orang-orang yang ramai berpindah ke sisi sebelah kiri. Perburuan sunrise di Bromo ibarat berburu harta karun bagiku.

Warna merah mulai keluar dari balik bukit. Namun, hanya dalam hitungan menit, cahaya yang tadi baru terlihat sedikit, tiba-tiba hilang tertutup awan. Puncak bukit yang tadi terpapar merah, kini kembali gelap. Hingga pagi menjelang,  aku tidak dapat sepenuhnya melihat matahari terbit di Bromo.

Para "pemburu" sunrise

Perburuan sunrise perdanaku terkategori belum berhasil—untuk tidak menyebutnya gagal. Kami, satu rombongan kembali menuruni puncak Pananjakan, menuju Jeep, melanjutkan perjalanan menjelajahi keindahan kedua, mendaki Gunung Bromo.

2 komentar:

  1. Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition "Aha Moments" Skyscanner Indonesia. Good luck :)

    BalasHapus
  2. Jejak. Terima kasih sudah berpartisipasi. :)

    BalasHapus

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.