Pasuruan-Probolinggo; dari Sate Komo hingga Wisata Bromo (2 - habis)

 Pendakian di Luar Jalur

Hari sudah semakin terang saat kami turun menuju Gunung Bromo. Sepanjang penurunan, di sebelah kiri Jeep-jeep sewaan terlihat menyemut menuju gunung. Kami mengikuti iring-iringan, dan akhirnya mesin mobil dimatikan di perhentian yang sudah disiapkan pihak pengelola. Di situ terparkir Jeep dengan berbagai usia dan warna.

Kami keluar dari Jeep, lalu berfoto dengan latar Bromo, juga barisan bukit yang hijau. Kegiatan foto-foto ini saja sudah menghabiskan setengah jam.

Aku kemudian langsung saja meninggalkan tim, berjalan kaki menuju Gunung Bromo. Di belakangku beberapa orang kawan berlarian mengikuti. Kami melewati lautan pasir beberapa kilometer. Meski banyak tawaran jasa berkuda, kami memilih tetap berjalan kaki. Selain karena ingin menikmati perjalanan, cara ini juga untuk menyetop penambahan biaya (ekonomis.. hihihi). Ada dua orang yang benar-benar ikut bersamaku hingga sampai ke kaki gunung.

Dari kaki gunung, sebenarnya orang-orang harus antre menapaki anak tangga menuju puncak Bromo. Kalau melihat panjang antrean yang mengular, rasanya kesempatan melihat kaldera Bromo harus pupus. Tapi, aku bertekad tidak boleh kehilangan kesempatan lagi. “Belum tentu  bisa ke tempat ini lagi,” pikirku.

Tanpa berpikir panjang,  aku kemudian mendaki di sebelah kanan tangga. Track ini, meski juga diikuti beberapa orang, bukanlah jalur yang dianjurkan.

Keinginan melihat kawah Bromo, mampu mengalahkan ketakutanku saat itu. Hanya mengandalkan sandal gunung, aku berlari mendaki punggung Bromo yang cukup curam. Di tengah perjalanan aku  berhenti untuk istirahat.

“Tidak, jangan lihat ke bawah,” perintahku dalam hati.
Keinginan melihat ke arah lautan pasir yang tadi kulalui membawa pandanganku turun ke kaki gunung. Seketika lutut terasa bergetar. Keringat mulai mengalir. Terpikirkan olehku bagaimana jika tiba-tiba terpeleset dan jatuh? Aku semakin takut. Kupaksakan untuk duduk, tanpa mau lagi melihat ke bawah.

Beberapa menit menenangkan diri, aku lalu melanjutkan pendakian. Kali ini dengan sedikit merangkak (agak ciut juga.. hehe). Cukup lama  mendaki, akhirnya sampai di puncak. Merdeka sekali rasanya. Meski pandangan agak berkunang-kunang.

Kawah Gunung Bromo
Duduk di pinggir tebing kawah dan mengabadikannya dengan kamera androidku, telah menghapus semua takut dan penat. Setelah dirasa cukup, aku lalu menuruni anak tangga menuju parkiran Jeep. Kami kemudian melaju menuju Bukit Teletubbies.

Narsis di Bukit Teletubbies.
Agaknya penamaan bukit ini terinspirasi dari film kartun anak yang dibintangi karakter Tinky Winky, Dipsy, Laa Laa, dan Po. Di film itu memang selalu menampilkan latar bukit rerumputan hijau, lengkap  dengan segala keindahannya. Film anak itu mengudara di televisi pada penghujung 90-an hingga awal 2000-an. Benar tidaknya dugaan itu, aku tidak pernah bertanya langsung ke mas Kadek maupun penduduk lokal.

Keindahan bukit ini memang sangat memesona. Bukit Teletubbies ditumbuhi jenis pakis-pakisan, ilalang, juga jenis lavender dan berbagai jenis rerumputan lainnya. Lekukan bukit yang tercipta menjadikan tempat ini terpampang seperti di kanvas lukisan.

Bukit Teletubbies Bromo, oleh penduduk lokal disebut juga Lembah Jemplang. Lembah savana yang terletak di sebelah selatan Gunung Bromo itu masuk ke dalam Desa Cemoro Lawang Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Untuk sampai kesana, kita hanya perlu melewati lautan pasir. Orang-orang bilang luasannya kurang lebih 10 kilometer per segi.

Sesampai di bukit Teletubbies, aku kembali mengabadikan petualangan tersebut dengan kamera. Kali ini, kami foto bersama dengan berbagai macam pose dan gaya (Pokoknya narsis abisss!). Meski bukan untuk promosi, apalagi pra wedding, gaya kami (menurutku) bisa menyamai pose para bintang di sampul film. Bukan tersebab modelnya yang keren, tapi latarnya sangat mendukung. Keindahan bukit Teletubbies sulit untukku deskripsikan.

Kuda dan pemiliknya di Bukit Teletubbies


Pulang setelah dia berbisik
Setelah dari Bukit Teletubbies, kami menyempatkan berhenti di sebelah Gunung Bromo. Mas Kadek berbaik hati menawarkan kami tempat yang sebenarnya di luar kesepakatan jasa transportasi.

“Ini namanya pasir berbisik mas,” ujar Mas Kadek kepadaku. “Kita berhenti sebentar tah,” lanjut Mas Kadek, dalam logat Tengger yang kental.

Dari informasi Mas Kadek, kalau angin lagi kencang, dengan berdiri di tempat aku berhenti saat itu, akan terdengar suara pasir-pasir berbisik. Entah karena  diterbangkan angin. Entah karena gesekan antar pasir.  Entah karena pertemuan angin dari puncak Bromo dengan yang  dari dataran di bawahnya. Aku juga belum mendapat penjelasan ilmiahnya.

“nguiing..nguiiiwiw.., begitu bunyinya mas,” mas kadek menirukan yang disebutnya suara pasir berbisik. “O... saya pikir bisikan ‘I love U’ dari seorang putri,” candaku. Meski hanya mendengar sedikit bisikan, kami sudah cukup senang. Di tempat ini, satu dua petikan kamera sudah cukup.

Jam menunjukkan pukul 11.50 Wib. Panas di sekitar Gunung Bromo sudah mulai menyengat. Kami meminta driver menyetir mobilnya kembali ke Wonokitri. Perjalanan pulang, kami akan tetap melewati jalanan berpasir.

Ketika mengintip dari celah kaca Jeep di samping kanan, aku melihat kuda-kuda berlarian. Di kejauhan terlihat para penunggang kuda memacu tunggangannya meninggalkan lembah berpasir di kaki Bromo. Satu satu mereka menghilang ke dalam rerimbunan pohon cemara gunung.

“mereka tinggal pulang kerumah, lalu istirahat. Tidur maning,” kata Mas Kadek menjelaskan.
Para penunggang kuda adalah warga sekitar Bromo yang sehari-hari kerjanya menawarkan jasa berkuda, dari dan menuju kaki Gunung Bromo.

“sama seperti kita, mereka mulai berdatangan sejak Subuh,” jelas Mas Kadek. Aku mengangguk paham.

Aku lalu memalingkan pandangan kembali ke Bromo, sampai terasa ban depan mobil sudah menyentuh aspal. Jeep mas Kadek lalu merayap dengan double gardan, menaklukkan tanjakan terjal diselingi belokan patah. Setiba di puncak, kami lalu berbelok ke arah kiri. Di depan sudah menanti jalan dengan  turunan tajam dan panjang. Di kiri-kanan jalan tumbuh berbagai jenis flora khas pegunungan. Ada Pinus. Cemara.

Perjalanan kami menuju Desa Wonokitri diiringi tembang kenangan yang mengaduk-aduk hati. “Terasa betul sedang jauh dari tanah kelahiran,” gumamku, sambil menerawang.

Teman-teman yang tadinya asyik bercanda tampak kelelahan, terbaring di bangku Jeep. Meski terlihat memejamkan mata, hanya satu orang yang aku duga benar-benar tertidur. Yang lain, mungkin sedang terhanyut dalam lamunan masing-masing.

Aku sendiri terus saja menerawang. Mengingat-ingat kembali keindahan cipatan-Nya: Bromo bersama keindahan lain di sekelilingnya. 

*Tulisan ini dimuat di kajanglako.com

Tidak ada komentar

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.