“POKOKNYA AKU MINTA CERAI. Titik!” suara Asri melengking, memecah
keheningan. Bunyi jangkrik yang sedari tadi menjadi irama pengiring sunyi malam
itu, tiba-tiba terhenti.
Asrul menatap perempuan di depannya lekat. Mulutnya ternganga lebar,
seperti orang melihat hantu. Tak dia sangka, kata-kata ‘haram jadah’ itu itu
keluar dari bibir mungil perempuan yang sudah sepuluh tahun ini menemani
hidupnya. Asri yang berdiri di hadapannya bukan lagi perempuan yang ia kenal dua
belas tahun lalu.
“Kenapa mama berkata seperti itu? Istighfar ma,” kata Asrul mencoba menenangkan.
Seperti sedang kesetanan, Asri justru semakin naik pitam. Keluar semua
sumpah serapah yang selama ini ia sendiri tak pernah mendengarnya.
“Dasar cacat! Kampungan! KUNO!”
Yang disebut, hanya terdiam.
Asrul melangkah pelan, semakin mendekat ke posisi Asri berdiri. Tangan
kanannya mencoba meraih pundak perempuan yang masih berstatus istrinya
tersebut. Tangan kirinya dibiarkan terkulai begitu saja.
Sejak terkena stroke
dua tahun belakangan, beberapa anggota tubuh Asrul memang tidak bisa berfungsi
normal. Tangan kirinya kaku selama berbulan-bulan, lalu tak bisa lagi
digerakkan. Jalannya pun sudah pincang, karena salah satu kakinya juga sudah tidak
berfungsi. Bagian tubuh sebelah kirinya seperti menyusut perlahan.
*
Jam sudah menunjukkan angka 01.12 WIB. Di luar angin semakin kencang
bertiup. Di langit, pelan-pelan awan hitam melumat bulan separuh yang berwarna
keemasan. Malam berubah menjadi kian pekat.
Di lantai atas salah satu bagian ruko empat pintu yang berdiri kokoh di
Simpang Asri, dua orang masih terlibat pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur
bertubi-tubi dari mulut Asri bak peluru yang dimuntahkan senapan serbu milik tentara.
Asrul terus berusaha meredam amarah perempuan yang jadi ma’mum dalam rumah
tangganya itu. Ia semakin mendekat ke posisi berdiri ibu dari anaknya ini. Baru
akan menyentuh pundak Asri, secepat kilat perempuan dengan amarah memuncak
tersebut menepis tangan imamnya.
“Sudah, tidak usah pegang-pegang. Jangan rayu-rayu. Aku sudah tidak tahan
lagi hidup sama kamu!”
Lancar sekali lidah Asri mengucapkan kata “Kamu” kepada Asrul. Padahal,
dulu di awal-awal menikah, dia lah yang meminta nama panggilan sayang keduanya
“papa – mama”. Bahkan sejak keduanya masih berstatus tunangan, satu tahun
sebelum mereka mengucapkan janji pernikahan.
Pandangan mata Asrul berubah nanar. Bukan karena jika benar-benar hidup
tanpa wanita itu yang membuatnya sedih, bayangan Sari yang baru berumur empat
tahun berkelabat di depan matanya.
Beruntung si Sari anaknya, malam ini tidak berada di kamar laki bini yang
sudah gamang itu. Seperti biasa, Sari tidur di kamar sebelah bersama Bi Inah. Anak
semata wayangnya ini memang lebih dekat dengan Bi Inah ketimbang ibunya.
Sejak
Asri pulang pergi tak tentu waktu, Bi Inah lah yang menjadi tempat Sari
bermanja, layaknya dengan seorang ibu, meskipun Bi Inah lebih tepat
dipanggilnya nenek. Kedekatan keduanya membuat kegelisahan Asrul sedikit berkurang.
Belum sempat ia mengumpulkan kesadarannya, Asri kembali membuat Asrul
terperangah. Sekonyong-konyong perempuan itu melintas di depannya. Tangannya
mendorong tubuh Asrul hingga terjatuh ke lantai. Masih dengan tatapan mata penuh
amarah, perempuan itu terus berlalu. Suara bantingan keras pintu kamar menjadi
penutup kemarahan Asri malam itu.
**
Baca juga: Yang Paling Dekat
Sebelumnya, keluarga kecil Asrul dan Asri sangat harmonis dan bahagia.
Mereka punya usaha pakaian yang cukup maju. Toko grosir busana muslim yang mereka kelola berdua menjadi rujukan tempat berbelanja se-kecamatan tempat mereka
tinggal. Saban hari tokonya disesaki pembeli. Selain menjual partai besar
dengan harga murah, Asrul juga memberikan penawaran spesial bagi pembeli
pakaian dengan jumlah sedikit.
“Toko Grosir Pakaian Muslimah Asri”, yang menempati ruko empat pintu itu mereka
bangun dari nol. Asrul memulainya dengan menjadi penjual pakaian keliling dari
rumah ke rumah. Usaha itulah yang ia tekuni sejak mempersunting Asri, gadis
lugu anak petani sawit.
Tiga tahun menikah, usahanya semakin maju. Mulai dari membuka ruko satu
pintu, lalu menjadi empat pintu. Bahagia sekali pasangan itu, hidup dari usaha
yang mereka rintis. Kebahagiaan Asrul dan Asri semakin lengkap dengan kelahiran
anak pertamanya yang sudah lama mereka nanti. Seorang bayi perempuan yang lucu
hadir ketika usia pernikahan mereka menginjak tahun keenam. Semua terasa semakin
sempurna.
Melalui bisnis pakaian muslim miliknya, Asrul dan Asri melanglang buana
dari satu kota ke kota lain. Hanya sekedar mencari produk-produk baru, kadang
memang sengaja untuk pelesiran. Sepanjang masa itu pula lah Asri merubah gaya
hidupnya. Di sini petaka rumah tangga mereka berawal.
Meski tak disetujui, perempuan yang dulunya mengenakan kerudung dan pakaian longgar sejak dinikahi Asrul, tiba-tiba berpenampilan sangat ‘modis’ bahkan cenderung menor. Setiap hari Asri tampil seperti akan berjalan di catwalk. Lingkungan pertemanannya juga sudah berubah drastis.
Meski tak disetujui, perempuan yang dulunya mengenakan kerudung dan pakaian longgar sejak dinikahi Asrul, tiba-tiba berpenampilan sangat ‘modis’ bahkan cenderung menor. Setiap hari Asri tampil seperti akan berjalan di catwalk. Lingkungan pertemanannya juga sudah berubah drastis.
Kadang Asri lebih sering pergi bersama teman-temannya, dibanding menemani
suaminya berbelanja keperluan toko. Sementara Sari, anak semata wayangnya, lebih
banyak dititipkan ke Bibi Inah, asisten rumah tangga yang sudah seperti
keluarga di rumah Asrul. Mereka tinggal di bagian atas toko yang dibangun dua
tingkat (ruko).
Semakin hari Asri semakin lupa diri. Aliran kas masuk toko busana muslim
usaha satu-satunya keluarga ini menjadi tidak sehat. Apa lagi setelah musibah
yang menimpa Asrul. Ia terjatuh di kamar mandi, ketika mendengar Sari merengek
minta makan. Waktu itu Bi Inah sedang membeli kebutuhan dapur di pasar,
sementara Asri istrinya masih asyik bersolek di kamar hias yang dibuat khusus
beberapa tahun terakhir.
Insiden terjatuh di kamar mandi itu membuat Asrul harus kehilangan fungsi
sebagian anggota tubuhnya. Dia sudah berobat ke mana-mana. Dokter menyebut dia
terkena stroke ringan. Penyakit itulah yang menjadi sebab Asrul harus lebih
banyak beristirahat. Sementara urusan toko pakaian usaha keluarga sepenuhnya
dikelola Asri.
*
Sudah dua minggu Asri meninggalkan rumah. Tanpa kabar, dan tidak ada
pesan. Asrul sangat khawatir, meski untuk alasan uang rasanya tidak mungkin wanita
itu terlantar. Semua buku tabungan dan kartu ATM milik mereka dipegang Asri.
Di pagi yang mendung, ketika Asrul duduk di depan toko bersama Sari anak
semata wayangnya, mereka dikejutkan dengan kedatangan dua perempuan tak
dikenal. Dua orang itu langsung saja menyalami Asrul. Di depan toko pakaian
yang sekaligus menjadi rumah mereka itu memang tidak ada pagar. Hanya di
samping bangunan ada tanaman jenis bumbu-bumbuan yang dirawat Bi Inah.
Tamu Asrul bukan orang sembarangan. Dua wanita ini memperkenalkan diri
sebagai aktivis pada lembaga perlindungan anak dan perempuan. Asrul mengajak
keduanya ke dalam. Di dalam toko di lantai bawah memang ada ruangan yang
disekat khusus cukup untuk menerima tamu sampai empat orang.
Sari membuntuti Asrul sembari tak berhenti mengajak kedua perempuan sebaya
ibunya itu berbicara. Yang diajak juga meladeni. Senang sekali kelihatannya
anak kecil ini mendapatkan teman ngobrol yang baru.
*
*
Di ruang tamu ukurang 3 x 4 tiga orang dewasa duduk dan terlibat obrolan
serius. Anak kecil yang dari tadi berceloteh, sudah asyik dengan boneka di
tangannya. Tak dihiraukannya lagi pembicaraan orang-orang tua di dekatnya itu.
Duduk di samping anakya, wajah Asrul terlihat mulai tegang. Naik turun jakunnya mengimbangi dua
wanita di depannya berbicara. Dia semakin sering menarik nafas dalam. Pembicaraan dengan dua tamunya itu beranjak semakin serius.
Wanita paruh baya yang duduk di sebelah kanan, menghadapnya, mengabarkan Asri terjaring razia Badan Narkotika Nasional (BNN). Bersama temannya, Asri tertangkap saat sedang berpesta narkoba di sebuah apartemen di kota tidak jauh dari tempat tinggal Asrul. Lima laki-laki dan lima perempuan diringkus aparat dalam penggerebekan yang dilakukan dini hari kemarin.
Wanita paruh baya yang duduk di sebelah kanan, menghadapnya, mengabarkan Asri terjaring razia Badan Narkotika Nasional (BNN). Bersama temannya, Asri tertangkap saat sedang berpesta narkoba di sebuah apartemen di kota tidak jauh dari tempat tinggal Asrul. Lima laki-laki dan lima perempuan diringkus aparat dalam penggerebekan yang dilakukan dini hari kemarin.
Perempuan dari lembaga perlindungan anak dan perempuan, yang
memperkenalkan diri dengan nama Astuti, mengatakan kasus serupa sering terjadi
beberapa waktu belakangan. Sasaran para penjual dan bandar narkoba terutama
anak-anak dan kalangan perempuan.
Astuti mengatakan pemasok barang haram untuk Asri dan teman-temannya sudah
teridentifikasi. Saat ini Bandar tempat Asri dan teman-temannya mendapatkan narkoba
sedang dalam pengejaran petugas.
Astuti menceritakan, Lembaganya, juga BNN sudah lama mengincar Bandar yang memang
sengaja menyasar anak dan kalangan perempuan. Para pengedar dan bandar semakin
leluasa merekrut korbannya (calon pengguna narkoba) dengan sistem multi level marketing
(MLM). Asri menjadi jaringan ini sejak enam bulan lalu.
Astuti memperlihatkan benda serupa buku agenda yang dari tadi dipegang
temannya. Dibukanya buku itu. Ada banyak foto dan kliping koran.
Dua kliping Koran dari media besar terpampang. Berita tanggal 07 Desember 2017: “Jaringan
China Pasok Ribuan Ton Sabu ke Indonesia”. Di lembar sebelahnya ada pula berita
hari Jumat tanggal 21/07/2017, “Ratusan Ton Sabu Asal China Masuk ke Indonesia
Selama 2016”. Ada lagi potongan berita dari media lainnya, tanggal 19 Juli
2017, “250 Ton Sabu Asal China Masuk Indonesia, Korban Tewas 15 Ribu Orang”.
Asrul terhenyak. Ribuan tanda tanya mengambang di benaknya.
Astuti memperlihatkan foto penangkapan Asri dan teman-temannya yang terjaring
razia narkoba. Ia ingin meyakinkan apakah benar Asri yang
ditangkap adalah istri dari laki-laki yang dari tadi diajaknya bicara.
Foto satu orang wanita dengan rambut sebahu dikeluarkannya.
“Astaghfirullah!”
Asrul menghela nafas.
Di foto itu, Asri hanya berpakaian minim dengan rambut tidak ditutup.
Meski kepalanya menunduk, wajah Asri masih bisa dikenali dengan mudah.
Semua terdiam untuk beberapa saat. Tapi kemudian ketiganya sama-sama terperanjat.
Tangan mungil tiba-tiba saja meraih foto yang disodorkan Astuti ke hadapan Asrul. Sari yang sedari tadi duduk bermain boneka bersandar pada badan Asrul, bangkit dan merebut foto di tangan Astuti.
Tangan mungil tiba-tiba saja meraih foto yang disodorkan Astuti ke hadapan Asrul. Sari yang sedari tadi duduk bermain boneka bersandar pada badan Asrul, bangkit dan merebut foto di tangan Astuti.
“Mama,” kata Sari sembari menggores-goreskan telunjuk mungilnya di wajah
Asri dalam foto yang baru saja ia ambil paksa.
“Pa, mau ketemu mama,” pinta Sari merengek. Matanya menatap penuh harap. Ekspresi wajahnya memelas.
Asrul tak kuasa mengelak. Ia kembali menarik nafas. Dalam. Sangat dalam.
***
*Cerita ini terinspirasi dari pemberitaan di berbagai media terkait penyelundupan narkoba besar-besaran dalam dua tahun terakhir
Bagus ini Bang Jhoni cerpennya. Lanjutkan!
BalasHapusSiaaap... Makasih bang Tigar
Hapus