Waktu kecil, saya sering mendengar cerita atau lebih tepatnya dongeng yang temanya bersinggungan dengan hutan. Misalnya cerita hantu pirau, yang tinggal di dalam hutan. Cerita “Datuk”—harimau yang dianggap sebagai reinkarnasi roh nenek moyang—yang menjaga hutan. Lalu ada cerita yang menakutkan, tentang hantu-hantu yang melarikan anak-anak nakal sampai jauh masuk ke hutan.
Pesannya jelas memberikan rasa takut. Takut akan hutan. Hutan ada yang jaga. Dibawa jauh ke dalam hutan adalah hukuman untuk anak yang nakal. Pesan lainnya: jangan sembarangan merusak hutan. Jangankan merusak, masuk pun harus hati-hati. Minta izin. Dan sebagainya. Demikian nilai yang diturunkan nenek moyang dahulu.
Semakin beranjak besar, ketakutan akan hutan tersebab mendengar cerita- cerita dan dongeng yang menyeramkan kemudian berubah jadi ketakjuban. Takjub melihat hutan masih asri dan hijau.
Ketika masih usia SMP, saya sering menghabiskan waktu sendiri, memanjat pepohonan tinggi, memandang jauh ke dalam hutan yang masih tersisa nun di huluan Jambi. Pesan “takutlah terhadap hutan” berubah “pedulilah terhadap hutan”.
Sekian tahun berlalu, Dongeng-dongeng tentang hutan sudah tidak ada lagi terdengar. Kini hutan bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Bahkan terkesan ia tidak perlu dijaga, karena di dalamnya banyak sumber daya yang harus segera disulap jadi rupiah. Hutan yang dulu lebat, tahun-tahun terakhir mulai terlihat jarang. Yang dulu hijau, kini gersang. Yang dulu luas, kini semakin sempit. Dulu dan sekarang memang amat jauh berbeda.
Saya sangat bersyukur mendapat tawaran menulis buku dari Perkumpulan Walestra tentang upaya masyarakat di beberapa desa yang masih menjaga hutan tersisa. Mereka membentuk kelompok penjagaan dan mengusulkan skema perhutanan sosial (hutan adat dan hutan nagari).
Bukan apa-apa. Semangat mereka menjaga tutupan hutan di daerahnya merupakan virus yang harus disebarluaskan. Salah satunya dengan cara mencatat dan membukukannya seperti ini.
Meski diminta Walestra, dalam buku ini saya berusaha menulis seobjektif mungkin, sesuai dengan data dan fakta. Untuk menggali informasinya saya melakukan riset kecil dengan suplai data yang sudah berlimpah dari tim lapangan Perkumpulan Walestra.
Pesannya jelas memberikan rasa takut. Takut akan hutan. Hutan ada yang jaga. Dibawa jauh ke dalam hutan adalah hukuman untuk anak yang nakal. Pesan lainnya: jangan sembarangan merusak hutan. Jangankan merusak, masuk pun harus hati-hati. Minta izin. Dan sebagainya. Demikian nilai yang diturunkan nenek moyang dahulu.
Semakin beranjak besar, ketakutan akan hutan tersebab mendengar cerita- cerita dan dongeng yang menyeramkan kemudian berubah jadi ketakjuban. Takjub melihat hutan masih asri dan hijau.
Ketika masih usia SMP, saya sering menghabiskan waktu sendiri, memanjat pepohonan tinggi, memandang jauh ke dalam hutan yang masih tersisa nun di huluan Jambi. Pesan “takutlah terhadap hutan” berubah “pedulilah terhadap hutan”.
Sekian tahun berlalu, Dongeng-dongeng tentang hutan sudah tidak ada lagi terdengar. Kini hutan bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Bahkan terkesan ia tidak perlu dijaga, karena di dalamnya banyak sumber daya yang harus segera disulap jadi rupiah. Hutan yang dulu lebat, tahun-tahun terakhir mulai terlihat jarang. Yang dulu hijau, kini gersang. Yang dulu luas, kini semakin sempit. Dulu dan sekarang memang amat jauh berbeda.
Saya sangat bersyukur mendapat tawaran menulis buku dari Perkumpulan Walestra tentang upaya masyarakat di beberapa desa yang masih menjaga hutan tersisa. Mereka membentuk kelompok penjagaan dan mengusulkan skema perhutanan sosial (hutan adat dan hutan nagari).
Bukan apa-apa. Semangat mereka menjaga tutupan hutan di daerahnya merupakan virus yang harus disebarluaskan. Salah satunya dengan cara mencatat dan membukukannya seperti ini.
Meski diminta Walestra, dalam buku ini saya berusaha menulis seobjektif mungkin, sesuai dengan data dan fakta. Untuk menggali informasinya saya melakukan riset kecil dengan suplai data yang sudah berlimpah dari tim lapangan Perkumpulan Walestra.
Baca juga: Parbokalo Bungkan yang Empat
Selain informasi awal dan sumber sekunder, saya juga langsung turun ke lapangan. Saya bertemu dan bermalam di rumah warga, hanya untuk menyelami secara langsung seperti apa sebenarnya semangat menjaga hutan di tingkat masyarakat. Bagaimana pula liku-liku yang mereka hadapi dalam perjalanan mempertahankan hutan tersebut.
Tentu bantuan tim Perkumpulan Walestra sangat dominan dalam kegiatan penulisan buku ini. Bantuan mulai dari Direktur Walestra hingga staf lapangan di desa dampingan mereka, boleh dibilang paling berperan selama pengerjaan hingga penerbitannya. Tidak kalah pentingnya, saya juga ingin haturkan terima kasih atas bantuan dari orang-orang desa yang saya kunjungi, kawan berdiskusi, dan orang-orang yang sudi nama dan ceritanya dimasukkan dalam buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat dan bisa menyebarkan semangat menjaga alam dan hutan, sebagaimana yang diperjuangkan kawan-kawan di Walestra.
Selain informasi awal dan sumber sekunder, saya juga langsung turun ke lapangan. Saya bertemu dan bermalam di rumah warga, hanya untuk menyelami secara langsung seperti apa sebenarnya semangat menjaga hutan di tingkat masyarakat. Bagaimana pula liku-liku yang mereka hadapi dalam perjalanan mempertahankan hutan tersebut.
Tentu bantuan tim Perkumpulan Walestra sangat dominan dalam kegiatan penulisan buku ini. Bantuan mulai dari Direktur Walestra hingga staf lapangan di desa dampingan mereka, boleh dibilang paling berperan selama pengerjaan hingga penerbitannya. Tidak kalah pentingnya, saya juga ingin haturkan terima kasih atas bantuan dari orang-orang desa yang saya kunjungi, kawan berdiskusi, dan orang-orang yang sudi nama dan ceritanya dimasukkan dalam buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat dan bisa menyebarkan semangat menjaga alam dan hutan, sebagaimana yang diperjuangkan kawan-kawan di Walestra.
Terima Kasih
@jhoni_imron
@jhoni_imron
Link buku: Perpustakaan
Tidak ada komentar
Tulis komentar sahabat di sini...