Meniru


Jarum jam menunjukkan angka sebelas ketika seorang pemuda tergopoh-gopoh mendatangi pelayanan apotik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi, siang itu. Dengan nafas yang sedikit ditekan, ia menyerahkan resep obat kepada seorang Ibu berseragam hijau muda.

Pemuda itu nampak sedikit lelah. Terlihat penat menyelinap di sudut matanya yang cekung.

Kulit wajahnya agak gelap, tulang rahangnya terlihat kuat. Janggut tebal yang dibentuk seperti personil band metal, menempel di dagunya. Menambah kesan mendalam pada mukanya yang agak petak.

Beberapa menit lalu, selepas dari poli jiwa, ia terlihat bergegas mendatangi apoteker. Tak didengarnya beberapa instruksi dari perawat yang mendampinginya di poli. Tiba-tiba saja, ia sudah sampai di meja apoteker.

Baca juga: Petuah Pohon Cery

Si ibu, petugas apotek yang menyambutnya, dengan sedikit tersenyum mengambil berkas yang ia sodorkan. Setengah suara ibu itu membaca, lalu berkas dia kembalikan ke pemuda tadi.

"diantar ke petugas penerima resep dulu," terdengar suara si ibu pelan, sambil menunjuk meja di sebelahnya.

Tanpa basa-basi, pemuda itu lalu beranjak. Tas yang tadi ditaruhnya, kembali sekuat tenaga ia panggul di bahunya.

Baju kotak-kotak yang ia kenakan, tanpa sadar terangkat setengah badan. Beruntung, si pemuda mengenakan T-shirt di bagian dalam. Jadinya, ia tak perlu memamerkan perutnya yang rata.

Berkas catatan obat yang dipegangnya ia serahkan ke petugas penerima resep.

Belum sempat si pemuda meninggalkan meja pelayanan, seorang lelaki tua, enam puluh-an tahun, telihat terburu-buru memasukkan berkas resep obat yang dibawanya, ke dalam keranjang di atas meja.

Lelaki tua hanya tetap menunggu di depan meja untuk beberapa waktu. Kepalanya sesekali memutar, melihat ke sekeliling.

Matanya terlihat lesu, mendapati banyak para pengantre obat tengah gelisah, duduk di bangku antrean.

Cukup lama lelaki tua itu tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tangan kirinya sesekali terlihat memperbaiki peci putih yang letaknya sudah betul. Sementara tangan kanannya digoyang-goyangkan dalam saku baju kokonya yang berwarna hijau.

"duduk saja pak, nanti dipanggil," terdengar suara petugas pelayanan menegurnya lembut.

Seketika, ia mengangkat kakinya berbalik ke belakang.

Sebelum benar-benar pergi, dilihatnya seorang pemuda, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih, mengambil secarik kertas yang terikut bersama berkas yang tadi diletakkannya di keranjang pelayanan resep.

Sedikit bingung, lelaki tua memandangi selembar kertas di tangan pemuda. Matanya perlahan bergerak memandangi wajah si pemuda. Keduanya bertemu pandang untuk beberapa saat, lalu berbalik saling membelakangi.

Lelaki tua, agak ragu, menjulurkan tangan kanannya ke keranjang berkas resep. Pelan-pelan diangkatnya beberapa bundel berkas. Tangannya terus saja mencari kertas miliknya, yang kira-kira serupa dengan milik pemuda berbaju kotak.

Yap.. dapat!
Ditariknya satu lembar kertas setengah A4 yang tidak di-staples.

Kertas itu dipindahkannya ke tangan kiri. Tangannya beberapa kali dijauh-dekatkan ke wajahnya. Jelas sekali keningnya mengernyit.

Tak berselang lama, tangan kanannya kemudian merogoh saku celana katunnya. Tampak tangan kecil yang dibalut kulit keriput itu menarik keluar kaca mata baca.

Dipasangnya kaca mata tadi, secepatnya ia mulai membaca kertas yang sejak tadi dia pegang.

Pelan-pelan lelaki tua mengangguk. Itulah kertas rujukan untuk menebus obat, bulan depan.

Dilipatnya kertas itu, lantas Ia masukkan ke dalam tas kecil yang diselempang ke kiri.

Pemuda berbaju kotak, masih berada di samping lelaki tua. Masih dalam diam, dengan pandangan sejuta makna, ia memperhatikan gelagat lelaki berpeci putih itu. Kembali ia pandangi selembar kertas yang ia pegang, dengan yakin dimasukkannya ke saku bajunya.

Seperti telah terjadi kesepakatan, kedua penebus obat itu berangsur meninggalkan meja pelayanan resep. Si pemuda memilih duduk di ujung deretan, sementara lelaki tua menjatuhkan badannya ke arah bangku di samping tempatnya berdiri.

Bangku itu baru saja dikosongkan semenit lalu. Gadis bermata sipit yang tadi mendudukinya, baru saja keluar setelah mendapatkan sekantong kecil obat.

Berjarak sekitar 4 meter dari meja pelayanan, seorang pemuda lainnya, terlihat asyik memperhatikan gerak-gerik kedua orang tadi : lelaki tua dan pemuda berbaju kotak-kotak.

Dia lah Imron, pemuda yang tak sengaja hidup di era milenial. Acap kali ia terlihat menyentuh-nyentuh layar smartphone di tangannya.

Rupanya, ia menuliskan kejadian di depannya tadi di buku catatan digital, dalam gadget yang ia genggam.

Tertulis jelas :
"pelajaran dari dua orang penebus/pembawa resep obat.
Tanpa banyak bicara, keduanya saling memberikan informasi. Apa sih yang lebih mudah dibanding meniru?

Barangkali inilah yang dikatakan orang-orang bijak. Cara sederhana belajar adalah dengan meniru. Orang akan cepat tahu, dengan meniru pada orang lain. Lelaki tua tadi tahu kalau secarik kertas ukuran setengah A4, adalah surat rujukan yang harus dibawanya bulan depan, sebagai syarat menebus obat.

Meski keduanya tidak berkata-kata, tapi lelaki tua telah mengambil keputusan benar dengan menirukan si pemuda. Lihatlah bagaimana meniru, membuat lelaki tua itu tak perlu risau surat rujukannya akan tercecer dan tertinggal di meja pelayanan.

Kesimpulannya: pada dasarnya semua orang sudah dibekali fungsi meniru. Waktu kecil, kita belajar dengan menirukan yang dicontohkan orang sekitar kita.

Hal benar, atau kebaikan juga demikian. Ia akan cepat menyebar dengan cara dicontohkan. Karena banyak orang telah siap untuk meniru.

Para pemimpin akan melihat rakyatnya taat hukum dengan cara memberi contoh ketaatan terhadap hukum. Masyarakat akan menirukan perilaku pemimpin yang jujur, ulet, optimis, dah hal baik lainnya. Semua itu akan menyebar dan menular, karena orang tanpa sadar akan meniru.

Sebagaimana kebaikan, keburukan pun akan dengan mudah menular dengan cara tadi. Seseorang berperilaku koruptif, karena lingkungannya mencontohkan (kadang diterjemahkan memaksa) demikian. Maka, sukar menyalahkan tidak sedikit orang juga terkena virus tersebut akibat (tanpa sadar) meniru.

Jika ingin apa pun (kebaikan, keindahan, optimisme) menyebar, maka langkah pertama--terutama bagi para pemimpin--adalah dengan mencontohkannya, selanjutnya alam yang melipatgandakannya. Ia akan menular dengan kecepatan yang tak bisa diprediksi."

Imron menyudahi catatannya dengan kutipan:
"Don't tell, but show it. Don't just order, just do it better!" 

dipublish pertama kali di FB pada 27 Maret 2017

Tidak ada komentar

Tulis komentar sahabat di sini...

Diberdayakan oleh Blogger.