Sungai Batanghari dan Pelabuhan Jambi dalam Jalur Rempah Nusantara (3)
Perdagangan Lada Jambi
Dulu, perdagangan lada di Jambi awalnya dikendalikan oleh Portugis. Orang Portugis lebih duluan datang ke Jambi ketimbang bangsa Eropa lainnya. Persaingan terjadi pasca masuknya Inggris dan Belanda yang berakhir dengan terusirnya Portugis dari Jambi.
Sekitar tahun 1615, kapal dagang Belanda “Wopen von Amsterdam” berlabuh di Jambi dengan tujuan ikut membeli lada dan hasil hutan daerah ini. Berselang satu tahun setelahnya (1616) Sultan Abdul Kahar memberi izin Belanda mendirikan Loji (kantor kagang) di Muara Kumpeh.
Meskipun Belanda telah membuka kantor dagangnya di Jambi, mereka gagal menyaingi pedagang Cina yang sudah duluan dekat dengan elit Jambi. Pedagang Jambi lebih suka berdagang dan berlayar langsung ke Jepara dan pelabuhan-pelabuhan lain di nusantara serta menjadikan para pedagang Cina sebagai perantara.
Dalam arsip Riau (1621) pembesar Belanda bahkan membuat persetujuan dengan Deputi Inggris terkait penentuan harga lada, pembelian beras, produksi karet dan pelaksanaan irigasi di Jambi. Tujuh tahun bertahan, Belanda akhirnya menutup kantor dagang di Jambi pada 1624.
Belanda kembali masuk ke perdagangan Jambi pada 1657 pada masa Pangeran Depati Anom bergelar Sultan Agung Abdul Jalil memerintah Jambi (1643-1665 M). Diawali dengan diberinya izin oleh Sultan kepada seorang Belanda, Beschseven, untuk mendirikan tempat jual beli di Jambi.
Tapi tak lama kemudian Pangeran Dipati Anom—yang menggantikan ayahnya itu, Sultan Abdul Kahar—bersitegang dengan Belanda, karena waktu itu VOC (baca Belanda) memaksakan sebuah perjanjian dengan Sultan.
Berawal dari misi perdagangan, perlahan-lahan kolonial berhasil menguasai wilayah Jambi. Jambi sebagai sebuah kesultanan dibubarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1906.
Tiga tahun sebelumnya Jambi sudah dimasukkan dalam Keresidenan Palembang, pasca menyerahnya Pangeran Ratu Martaningrat (keturunan Sultan Thaha) kepada Belanda pada tahun 1903.
Masa kolonial, perdagangan di Jambi dikuasai oleh orang-orang Cina dan beberapa saudagar Arab dan India. Pemerintah Hindia Belanda memberikan prioritas kepada orang-orang ini menjadi pedagang perantara.
Di pelabuhan Jambi, Syahbandar adalah orang yang paling berkuasa dalam proses ekspor lada ke luar wilayah. Orang Cina dipercaya sebagai Syahbandar pelabuhan, ketika orang-orang Portugis, Cina, Belanda dan Inggris sudah memiliki pengaruh dagang di Jambi.
Ada suatu masa, sebagian besar lada dari Jambi dijual ke pelabuhan yang populer di mata pedagang Cina. Ini terjadi lebih dari 60 tahun lamanya, sehingga aktivitas perdagangan di Pelabuhan Jambi kalah maju dibanding tetangganya: Palembang.
Lada Jambi yang menjadi rebutan, telah membuat para pedagang melakukan berbagai strategi untuk mendapatkan komoditi premium tersebut. Agar bisa dapat lada lebih dulu dan lebih banyak, para pedagang Inggris, Belanda, maupun dari Kesultanan Jambi, mengirim agen ke daerah hulu untuk membeli langsung ke petani.
Agen yang dikirim adalah orang Cina, karena dianggap lebih bisa membaur dengan petani lada. Mereka mendatangi langsung petani lada Jambi ke hulu Batanghari setiap tahunnya (sekitar 60 perahu kecil). Para petani sendiri baru akan muncul di Pelabuhan Jambi antara November dan Desember, membawa lada hasil produksinya menumpangi rakit.
Kisaran abad XVI sampai awal XVII lada Jambi sempat berfungsi sebagai alat tukar yang sah (alat bayar) dalam transaksi perdagangan. Sistem seperti ini terjadi di hulu Jambi, dilakukan oleh pedagang Protugis dan Cina yang menukar lada dengan garam, tekstil, dan beberapa barang lainnya.
Untuk mendapatkan lada, para pedagang juga ada menggunakan taktik serupa ijon. Para pedagang sengaja meminjamkan uang ke petani lada di awal, lalu ketika panen mereka mengambil hasil lada sesuai kesepakatan.
Cara lain yang ditempuh pedagang untuk mendapatkan lada adalah secara jual beli biasa menggunakan alat tukar uang. Dari transaksi-transaksi yang dilakukan para pedagang ini, kemudian lada Jambi berlayar ke berbagai pulau hingga benua Eropa.
Jambi dalam Jalur Rempah Nusantara
Orang-orang di nusantara telah mengadakan pelayaran antar pulau sejak masa prasejarah. Jalur pelayaran ini kemudian menjadi jaringan yang mempersatukan wilayah perairan di nusantara.
Jambi dengan wilayah perairannya merupakan salah satu titik penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan nusantara. Karena letaknya, posisi Jambi sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan masa lalu.
Kawasan pesisir timur Jambi berada di jalur pelayaran internasional, yang menghubungkan laut Cina Selatan dan Selat Malaka . Lalu lintas yang sangat penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan di sekitar Samudra Hindia dan Teluk Persia.
Baca catatan terkait :
- - Sungai Batanghari dan Pelabuhan Jambi dalam Jalur Rempah Nusantara (1)
- - Sungai Batanghari dan Pelabuhan Jambi dalam Jalur Rempah Nusantara (2)
- - Sungai Batanghari dan Pelabuhan Jambi dalam Jalur Rempah Nusantara (4)
Sungai Batanghari Jambi yang berhulu di Bukit Barisan, muaranya ada di Selat Berhala. Menghadap ke Laut Cina Selatan, dan berada di jalur perairan yang penting di pantai timur Pulau Sumatera.
Wilayah pelabuhan di sekitar Selat Malaka merupakan tempat persinggahan dan berlabuh bagi para saudagar yang akan melakukan transaksi perdagangan. Perdagangan rempah di Sumatra berpengaruh besar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan nusantara dan global.
Munculnya pelabuhan seperti Jambi telah menjadikan Selat Malaka sebagai jalur pelayaran yang sibuk: menghubungkan antar pedagang di wilayah perairan nusantara.
Melalui tangan para pedagang pesisir pantai utara Pulau Jawa, hasil pertanian dan perkebunan dari Jambi menjadi komoditas perdagangan antar pulau di nusantara. Pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511 M), rempah berupa lada Jambi langsung dibawa oleh pedagang dari pelabuhan Jambi untuk dijual ke Jepara.
Perdagangan lada di Jambi telah mengundang kedatangan orang Makassar, Jawa, dan daerah lainnya untuk berlayar dan berlabuh di Jambi (A.B. Lapian, 1992).
Para petani lada di hulu Jambi menjual ladanya ke hilir. Dari sana, pedagang besar mengangkut lada ke pelabuhan yang lebih besar: Palembang, Banten, Gresik, dan Pattani di Semenanjung Malaya.
Sampai kedatangan Belanda di nusantara, Banten masih menjadi pelabuhan terpenting untuk komoditi lada. Perebutan lada dimulai dengan kedatangan Belanda dan Inggris yang diikuti oleh Prancis dan Denmark (tahun 1600-an awal).
- Foto kapal-kapal di pelabuhan Jambi (sumber: Arsip daerah Jambi)
- Foto peta kuni Indonesia (sumber: sultansinindonesiablog)
Tidak ada komentar
Tulis komentar sahabat di sini...